Wanda berjengit entah untuk yang keberapa kalinya mendengar Yoga membuka pintu kamarnya dengan berisik, gedubrakan menuruni tangga, menyambar pisang goreng di atas meja untuk kemudian naik lagi ke kamarnya, membanting pintunya menutup.
Biasanya, Wanda akan memprotes keras dan ibu mereka yang sekarang sedang berada di dapur juga akan mengomel jika ada yang membanting pintu. Kekerasan terhadap pintu biasanya dilakukan oleh ayah mereka secara tidak sadar karena tenaganya yang kuat.
Tapi hari ini adalah pengecualian. Sudah seharian ini Yoga keluar masuk kamar dengan rute sama, ke meja makan untuk mengambil entah makanan apa yang ada di meja, kemudian masuk lagi ke kamarnya. Wanda yang sedang duduk di depan laptopnya di meja makan jelas terganggu berat, tapi ia berusaha keras untuk mentolerir adiknya yang sedang kalang kabut.
"Pengumumannya emang jam berapa, sih?" lagi-lagi dari dapur Bunda menanyakan hal yang sama untuk yang keempat kalinya.
"Bun, kan tadi aku udah bilang, jam enam..." Wanda mendesah.
"Pusing Bunda, dia berisik banget dari tadi. Kenapa ya kalian berdua sama aja? Padahal Bunda sama Ayah udah bilang kalo nggak dapet pun nggak apa-apa."
"Kebetulan karena kita kakak adek, Bun. Pabriknya sama," balas Wanda, tertawa kecil. Itulah mengapa ia tidak protes dengan tingkah laku Yoga yang membuatnya ingin mengunci pintu kamar adiknya rapat-rapat supaya tidak usah dibanting-banting lagi. Karena dulu dia juga seperti itu, lebih parah malah.
Bunda menarik kursi dan duduk berseberangan dengan Wanda, tangannya terlipat di atas meja.
"Kamu udah punya nomernya?" tanyanya dengan suara berbisik, padahal di atas Yoga sedang menyetel musik kencang-kencang.
Wanda menjentikkan jarinya sambil tersenyum dengan senyuman yang disebut ayahnya sebagai 'senyum penuh konspirasi'. "Udah, dong. Dari berhari-hari yang lalu udah kucuri."
Menggelengkan kepalanya, Bunda mencomot pisang goreng buatannya sendiri. "Bahasa kamu ya, kucuri."
Terkekeh licik, Wanda kembali menyibukkan dirinya dengan laptopnya, bersenandung. Ia 'mencuri' nomor pendaftaran Yoga supaya ia bisa melihat sendiri jadi kalau-kalau hasilnya tidak sesuai harapan Yoga, Wanda tetap bisa tahu tanpa harus bertanya pada adiknya. Wanda tahu kalau ditanyakan mengenai hal yang kita anggap sebagai kegagalan tidak enak sekali rasanya.
Menit demi menit dilalui dengan Wanda yang mengerjakan pekerjaan kantornya sambil bercakap-cakap dengan ibunya. Sampai ibunya menunjuk ke arah jam dinding di belakang Wanda,
"Mbak, jam enam tuh."
Wanda ikut melirik ke jam di laptopnya, kemudian air mukanya berubah penuh tekad. "Oke, kita mulai."
Bunda menunggu dengan sabar sementara jari-jari Wanda bergerak cepat di atas keyboard, kemudian berpindah ke mouse, berpindah lagi ke keyboard, sesekali mendesah sebal. Sampai akhirnya Wanda menjerit kecil, tangannya memukul-mukul meja, matanya yang sudah bulat semakin membulat.
"Bun bun buN BUN BUN—"
"Apa apa apa gimana giMANA—"
"Oh my God oh my God OH MY GOD—"
Menyentil tangan anak perempuannya dengan tidak sabar, Bunda menyergah, "Ngomong yang jelas dong, cantik."
Baru saja Wanda akan memutar laptopnya menghadap ibunya, terdengar suara gedubrakan dari kamar Yoga dan si empunya kamar yang berteriak kesakitan,
Dari suaranya, sepertinya Yoga baru saja jatuh dari tempat tidur.
*
*
![](https://img.wattpad.com/cover/113297123-288-k141132.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Coincidence
Fanfiction"The world is so unpredictable. We are ruled by the forces chance and coincidence." - Paul Auster. Call it luck. Call it chance. Call it karma, call it fortunate. Here we are, coinciding coincidences.