Make a Chance, Take a Chance

310 48 51
                                    

Sepanjang hidupnya yang belum panjang-panjang amat ini, Sarah tidak pernah membenci hari Senin. Hari yang paling ia benci biasanya adalah hari Rabu, puncak ketika sedang mumet-mumetnya. Juga hari Jumat, kalau hari itu terasa berjalan terlalu lama, padahal akhir minggu di depan mata. Sewaktu SMP, Sarah paling benci hari Kamis, karena ia tidak menyukai seragam batiknya. Alasan yang konyol, tapi namanya juga anak SMP.

Tapi kali ini, Senin resmi jadi hari yang paling ia benci. Bukan karena mata kuliah yang katanya mata kuliah pengembangan kepribadian itu diadakan jam delapan pagi, tapi karena kelasnya berada di lantai empat Gedung X FIB. Sarah kira memiliki kelas di lantai empat ketika dia SMA dulu sudah cukup membuatnya menderita, tapi ternyata ada yang lebih parah lagi.

Pasalnya, gedung yang katanya termasuk gedung baru di FIB itu anak-anak tangganya dibangun cukup tinggi dibanding anak-anak tangga pada umumnya dan akan membuat siapapun yang menaiki tangga-tangga Gedung X—terutama kalau sampai ke lantai empat—bertanya-tanya siapa yang berani-beraninya mendesain tangga jahanam tersebut.

Karena itu, tangga-tangga Gedung X resmi jadi cobaan Sarah setiap Senin pagi selama semester pertamanya di dunia perkuliahan. Tidak terkecuali hari ini.

Sarah mengerang malas ketika kakinya melangkah memasuki Gedung X dan pandangannya jatuh pada tangga yang lebih seram daripada tangga-tangga di film horor manapun.

"Kenapa sih," engahnya ketika sampai di lantai tiga. Kalimat itu tidak keburu ia lanjutkan karena ia memutuskan untuk meneruskan naik ke lantai empat daripada menghabiskan napasnya ngedumel di tangga. Nanti keluhannya dilanjutkan di kelas saja.

Kehabisan napas, Sarah membuka pintu kelasnya yang kosong. Kalau orang datang pagi karena mungkin orangnya memang rajin, alasan Sarah selalu datang pagi adalah karena agar ia punya waktu untuk 1) mengatur napasnya dan 2) mengeluhkan tangga setelah napasnya teratur kembali.

Dan seperti biasanya, kelas itu dingin sekali. Sarah mendelik sebal pada setiap air conditioner di ruangan itu yang padahal tidak salah apa-apa, Sarah saja yang norak. Sarah mendudukkan dirinya di salah satu kursi di dekat jendela, melakukan ritual mengatur napasnya. Setiap selesai menaiki tangga lantai empat, rasanya ia bertambah tua bertahun-tahun.

"Apa ini karena gue jarang olahraga, ya?" gumam Sarah, tidak kepada siapa-siapa. Merasa bosan setelah duduk beberapa menit, Sarah berdiri dan menghampiri jendela, menyusupkan dirinya ke balik blindfolds yang menutupi kaca jendela tersebut.

Sebetulnya, salah satu keuntungan kelas di lantai empat Gedung X adalah pemandangan yang dapat disaksikan dari jendela lantai empat cukup menarik kalau tidak bisa dibilang indah, terutama kalau pagi-pagi.

Langit masih biru dengan awan tipis-tipis, dan sinar matahari yang baru muncul sedikit-sedikit. Pohon-pohon yang bisa ditemukan di berbagai penjuru fakultas, dedaunannya berayun pelan mengikuti tiupan angin pagi. Dan kalau memicingkan mata sedikit, ada kerlip-kerlip kecil di permukaan air danau yang tenang, hasil pantulan sinar matahari. Danau tersebut membatasi komplek FIB dengan FT, lengkap dengan jembatan merah di atasnya. Pemandangan seperti ini yang membuat Sarah selalu menyayangkan mengapa ia tidak pandai menggambar atau memotret.

Sarah melayangkan pandangannya ke danau, ke jembatan, ke fakultas seberang, sebelum benaknya tanpa sadar dan tanpa bisa ia cegah merayap menuju satu nama, membuat jantungnya terasa merosot. Buru-buru ia menggelengkan kepalanya, cepat-cepat mendorong nama itu kembali ke pojok benaknya yang paling terpencil.

Tapi kemudian Sarah mendengus, menghasilkan embun di kaca jendela dari napasnya, teringat kakinya yang pegal setiap habis menaiki empat set tangga Gedung X.

The Art of CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang