|8| Senbazuru (First Mission)

135 25 2
                                    

Hal terpenting dalam mencintai seseorang bukan memiliki, tetapi bersiap dengan segala kemungkinan sakit hati. Karena cinta dan patah hati itu ibarat bulan dan bumi. Kemana bumi berputar, tak sekalipun bulan meninggalkan karena mereka terikat oleh takdir.

-Dariku untuk Devano-

Lapar.
Itu yang dirasakan Devan saat ini. Segelas susu coklat yang diminumnya tadi pagi dirasa kurang untuk mengganjal lapar seharian penuh. Ia rindu muka penuh keringat Bu Lastri ketika menyajikan mie ayam favoritnya. Devan menengguk ludah membayangkan itu. Bukan!  bukan membayangkan Bu Lastri, tapi membayangkan mie ayam dengan kuah kental berminyak yang membuat liurnya menetes.

"Van, mau percobaan pertama atau kedua dulu?" ucapan Bagas yang setengah berbisik membuyarkan lamunan Devan.

"Emang fisika" jawabnya cuek.

"Ck. Serius gue, mau ngajakin Arinda ngobrol dulu apa ngintip di loker?"

"Ke kantin dulu bagus kali ya" lagi-lagi Devan menanggapinya dengan gurauan.

"Serius Devano!"

"Iya iya, gue ajakin ngobrol" Devan akhirnya mengalah. Ia pergi meninggalkan Bagas yang tersenyum puas.

Langkah Devan mendekat kearah perempuan yang tengah serius dengan layar personal computer nya. Bahkan cewek itu tak menyadari kehadiran Devan yang saat ini tengah mencari topik pembicaraan. Devan berdehem, mengalihkan pandangan cewek itu. Ia menatap Devan dengan sorot mata terkejut. Ada apa?

"Hai Rinda, boleh ikutan nonton?" tanya Devan basa basi. Arinda hanya mengangguk, ekor matanya menyuruh Devan duduk di bangku sebelah. Cowok itu menurut.

"Itu World War Z 'kan?  Baru nonton? Padahal udah lama banget rilisnya"

"Udah pernah, tapi gue tonton ulang soalnya gak ada film baru. Yah, terpaksa lah" jawab Arinda masih dengan pandangan kearah film.

"Oh, gak ada niat nonton film Dunkirk? Bentar lagi rilis di bioskop loh"

"Pengen sih, tapi gak ada temen" jawabnya setengah kecewa. 

"E-hm, sama gue aja" ucap Devan. Entah mendapat keberanian darimana ia bisa langsung mengajak cewek ini ke bioskop. Arinda setengah terkejut mendapat penawaran dari Devan, ia terlihat berpikir sejenak. Bahkan film tadi Arinda biarkan berjalan per adegan tanpa ia ikuti alurnya.

"Tumben nonton film action, biasanya romance. Gue heran sama elo, badan gak sebanding sama perasaan" bukannya menjawab, Arinda justru berucap sinis.

"Sebenarnya gue suka action. Tapi karena mantan gue sering ngajakin nonton romance, ya gue nurut aja" jawab Devan enteng. Membicarakan hal ini membuat ia ingat seseorang, Kendra.

"Oh"

Arinda kembali fokus pada filmya. Merasa tak diperhatikan, Devan kembali berucap, "Gimana? Mau nonton sama gue?"

"Maaf, jadwal filmnya bertepatan sama jadwal gue marathon film Ibnu Sina sama temen" kini Arinda beranjak pergi, meninggalkan laptopnya yang masih menyala. Mengerti apa yang harus ia lakukan, buru-buru Devan mengikuti perginya gadis itu tanpa sepengetahuan. Bagas yang sedari tadi duduk di bangku belakang menatap kepergian Arinda dengan tatapan curiga.

Devan berjalan pelan mengikuti langkah kaki Arinda. Sepertinya cewek itu tidak sadar jika ada seseorang yang tengah mengikutinya dari belakang. Devan terus mengikuti hingga Arinda berbelok ke arah lorong yang menghubungkannya dengan koridor khusus loker siswa. Devan mengernyit, kenapa cewek itu ke loker dijam istirahat seperti ini? Bukannya sedang tidak ada jadwal olahraga? Devan mulai memikirkan hal-hal yang mungkin saja terjadi. Apa benar ia si cewek origami itu? Dan sekarang dia lagi 'melakukan' aksinya?  

Belum sempat Devan melangkah untuk mengikuti perginya gadis tadi. Sebuah tepukan pelan di pundaknya membuat ia terhenti dan menoleh ke belakang.  Seorang siswi bersurai hitam pekat sepunggung tengah menatapnya seperti memohon. Bisa Devan lihat siswi itu tengah gugup, terbukti dari kedua jari tangannya yang saling bertautan, manik mata yang terlihat gelisah, dan lagi nafasnya memburu. Devan merasa tak asing dengan wajah itu. Tapi siapa?

"Bo-boleh aku minta tolong?" Ucap gadis itu membuat pertanyaan di pikiran Devan buyar.

"Tapi gue lagi--"

"Tolong, ini penting banget" gadis itu kembali berucap, kini ada nada memohon di ucapannya. Seperti biasa, Devan tidak bisa melihat seorang perempuan menatapnya dengan tatapan sendu dan memohon.

Ia menghembuskan nafas pelan sebelum berucap, "Iya gue bantu, ada apa?" ungkapnya kemudian.

"Aku Melody Azalea dari kelas XI IPA satu, Bu Astuti minta tolong di ambilkan buku referensi Bahasa Indonesia di perpustakaan, tapi lemarinya macet dan aku gak bisa buka. Tolong ya?" Gadis itu mengatakan hal tersebut dengan menunduk. Enggan menatap mata elang milik Devan dan memilih menatap jari tangannya yang saat ini berkeringat hebat.

"Gak ada penjaga perpus emangnya?" tanya Devan, heran saja jika di jam istirahat seperti ini tak ada penjaga perpustakaan sama sekali. Atau minimal pasti ada penghuni lain 'kan?.

Gadis yang diketahui bernama Melody itu menggeleng. Misi pertama Devan gagal. Ia akhirnya mengalah dengan mengikuti permintaan Melody. Mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan yang letaknya tak jauh dari sini. Benar, perpustakaan tengah sepi tapi ada siswa lain di luar. Kenapa Melody tidak meminta tolong kepada mereka? Ingin Devan menanyakan itu, tapi ia enggan melihat Melody menangis. Sepertinya gadis itu sangat rapuh.

Melody berhenti tepat di depan lemari kayu yang sudah mulai usang termakan usia. Ia menunjukkannya kepada Devan.

Devan mengangguk, untuk membuka lemari macet seperti ini saja terasa mudah bagi seorang master karate sekolah sepertinya. Devan menarik gagang lemari itu kuat-kuat.

Berhasil! Lemari bisa dibuka hanya dengan sekali tarikan. Buru-buru Melody mencari buku yang dimaksudkan Bu Astuti. Puluhan buku tebal berdebu ia baca judulnya satu persatu. Hingga pada tumpukan terakhir matanya berbinar melihat sesuatu yang dicarinya. Buku itu dibukanya dengan antusias.

"Uhuk! Uhuk!" Melody terbatuk ketika ada banyak debu yang terkumpul di halaman pertama. Devan berusaha menahan tawanya ketika melihat wajah gadis itu memerah. Lucu. Mungkin itu pemikiran Devan saat ini.

"Udah tau sampulnya berdebu, masih aja nekat dibuka. Sini gue bersihin" Devan mengambil alih buku itu dari tangan Melody dan mengusap sampulnya dengan kemoceng yang tersedia di perpustakaan.

"Ini bukan buku referensi Bahasa Indonesia 'kan?"

"Memang, ini buku sejarah biologi dan aku suka banget sama isi buku itu. Di perpustakaan kota udah gak ada lagi sejak beberapa bulan lalu. Referensi Bahasa Indonesia bisa aku cari di tumpukan sebelah" jelas Melody dengan tatap berbinar. Mungkin ia senang karena buku favoritnya bisa ditemukan dengan mudah disini. Masalah buku referensi Bahasa Indonesia bisa ia cari belakangan. Lagipula mencari buku itu mudah karena lemari sudah dibuka.

Devan tersenyum penuh arti menatap manik mata gadis itu. Sorot mata coklat gelapnya terlihat berbinar. Namun sayang, sorot sendu lebih mendominasi tatapan Melody. Seperti pikiran Devan tadi, Melody sepertinya perempuan yang rapuh.

"Buku ini isinya tentang apa?" tanya Devan sambil membuka halaman per halaman buku tebal itu.

"Perjalanan Ibnu Sina menemukan peredaran darah"  jawab Melody.

"Bukannya William Harvey?"

"William Harvey cuma menyempurnakan, tapi justru orang-orang lebih menyanjungnya daripada Ibnu Sina" kali ini tatapan Melody sempurna mengarah kepada manik mata Devan.

Lain dengan Melody yang antusias menceritakan isi buku, Devan malah sibuk dengan pikirannya. Ibnu Sina? Eropa mengenalnya dengan sebutan Avicenna. Seorang ilmuan muslim penemu peredaran darah dan penulis ensiklopedia kedokteran. Tapi bagi Devan, Avicenna adalah identitas satu-satunya yang diberi oleh gadis origami itu.

Dan tunggu, perpustakaan kota? Apa dia si gadis origami itu? Lalu Arinda?

~To Be Continue~

A/n: Sebenarnya pengen bikin cerita ini kepo-able alias gak ketebak🙊. Tapi entahlah, berhasil atau enggak. Masih pemula jadi tolong krisarnya ya 😊

Senbazuru Tegami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang