⏳ 1 2 P M : 0 4 ⏳

179 31 3
                                    

  
    “Apa benar, jam ini dapat mengobati rindu yang tak berwujud?”

    “Dahulu, di zaman kerajaan Singosari, seorang putri yang cantik jelita kehilangan sang pujaan hati. Putri itu bernama, Diajeng Nimas Wiryaningrat dan kerap di panggil Putri Nimas. Putri nimas adalah putri dari sang raja dengan salah satu selirnya yang merupakan anak haram seorang pejabat rendah di salah satu daerah kekuasaannya. Ia merupakan putri yang tersisihkan. Sampai pada suatu hari, ia bertemu seorang bangsawan—anak raja dari kerajaan seberang dan kemudian jatuh cinta pada genggaman pertama. Namanya pangeran Rajapati.

    Sayang, hubungan keduanya tidak direstui. Putri Nimas memilih untuk kabur bersama  pangeran Rajapati. Tapi naas, di perjalanan pada perbatasan antara kerajaan Singosari dan kerajaan pangeran Rajapati, keduanya diserang oleh pembunuh bayaran. Putri Nimas selamat, tapi ia harus kehilangan sang pangeran. Putri tentu saja sangat hancur dan terus memeluk jasad sang pangeran hingga fajar menyingsing. Seorang pengembara miskin melihatnya dan merasa ibah. Kemudian, pengembara itu memberikannya sebuah jam pasir itu. Sebuah jam pasir yang mampu mengobati rindunya. 

    Rindunya terobati. Namun sayang, putri Nimas melupakan nasehat sang pengembara, yang mengatakan bahwa, ‘Anda dapat mengubah alurya, nona. Tapi sebuah akhir telah ditetapkan tak perduli sebesar apapun perubahan pada alurnya. Ini, hanya untuk mengobati rindumu’. Dan putri nimas pada akhirnya kembali kehilangan.” Ibu itu akhirnya menutup dongeng siang hari ini. 

    Ten mengerjapkan matanya berulang kali, ia hampir saja tertidur mendengar dongeng dari ibu itu.  Sekarang, Ten meragukan kewarasan dari wanita yang duduk di sampingnya. Karena dugaannya itu, Ten segera pamit. “Saya pergi dulu, Bu. Dan semoga dagangannya laku.”

    “Tunggu dulu, Nak. Beli lah dulu dagangan saya ini, saya belum makan dari kemaren,” cegah ibu itu sambil menahan tangan Ten. 

    Bila Ten bukan laki-laki maka ia akan menjerit saat ini juga karena berhadapan dengan wanita gila yang menipu. “Saya enggak ada duit, Bu,  maaf.” Ten berusaha melepaskan tangannya yang dicegat oleh ibu itu.

    “Ibu mohon, Nak. Belilah satu.”

    Ten memejamkan matanya erat agar tidak bertindak kasar, ia tidak suka di paksa. “Ya udah, deh. Saya beli jam pasirnya itu aja, berapaan?”

    “Lima ratus ribu, Nak.”

    Ten melototkan matanya mendengar harga yang di sebutkan. Gila kali, ya? Siswa macam gue pegang duit lima ratus ribu, sekate-kate aja nih ibu-ibu. Lagian lima ratus ribu buat makan di restoran? “Maaf bu, kalau segitu saya enggak ada duitnya,” tolak Ten.

    Ibu itu nampak berpikir sebelum kemudian menyuarakan keputusannya. “Berapa aja deh, saya sudah lapar dan daripada gak ada yang beli.”

    “Lepasin dulu tangan saya tapi, Bu. Saya susah cari duit kalau gini,” pinta Ten yang langsung dituruti oleh ibu itu. Ten mencari di saku celananya dan ia hanya menemukan satu lembar uang lima puluh ribu,  itupun sudah kucel. “Adanya lima puluh, Bu? Gimana?”

     “Enggak ada lagi kah, Nak?”

      Ten tidak dapat menahan matanya untuk tidak memutar. Tadi katanya berapa aja, giliran gue tawar lima puluh malah minta lagi. astaga dragon! Gue mau sedih ada aja cobaannya. “Enggak ada, Bu. Kalau enggak bisa, ya udah, saya pamit dulu.”

      “Eh! Iya deh, gak pa-pa daripada enggak makan.” Ibu itu memberikan jam itu pada Ten. Namun saat Ten akan menariknya, malah masih ditahan oleh ibu itu. Ini ibu-ibu bikin kesel, enggak jadi ibah gue.

       Tiba-tiba ibu itu menatap Ten serius dan mengatakan, “Ingat nak, kamu bisa mengubah alurnya! Akan tetapi, kamu tidak bisa mengubah sebuah takdir yang telah Tuhan gariskan. Garis-garis di tangan, tak bisa manusia hapuskan.” Usai mengatakannya, ibu itu melepaskan tangan Ten. Sedangkan Ten yang ingin segera pulang hanya mengangguk saja. 

       Karena tidak membawa tas, Ten memasukkan jam itu ke dalam baju dan menggulungnya lalu ia selipkan di celana agar tidak jatuh saat ia membawa motor. Motor melaju meninggalkan ibu-ibu itu yang menatap punggung Ten datar. Sangat jauh berbeda dengan bahasa wajahnya yang sarat akan permohonan tadi. 

       “Takdir itu mutlak, dan itu hanya sedikit penghibur.” 

****

Ini tuh dikit. Dikit-dikit ajalah dulu.

12 PM [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang