[Ali Prilly Fanfiction]
**
Di antara dua insan yang memiliki kepribadian bertolak belakang, terdapat cinta yang menjadi perekat menyatukan keduanya lebih dekat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku tidak bisa membohongi diri bahwa selama ini aku mencintaimu."
Perempuan yang duduk di kursi mobil itu terperangah menatap lelaki yang baru saja mengutarakan perasaannya. Perempuan itu mengulurkan tangannya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut.
Lelaki itu pun melanjutkan perkataannya, "Katanya, seseorang bisa jatuh cinta hanya dalam beberapa detik. Namun, tidak bagiku. Buatku, jatuh cinta dalam waktu singkat hanyalah kekaguman semata. Butuh waktu bagi seseorang untuk memahami apa itu cinta. Jika cinta sulit dideskripsikan, maka aku tidak perlu alasan untuk jatuh cinta padamu."
Lelaki itu tersenyum, mengecup lembut tangan perempuannya yang berada di pipinya. "Karena jika kamu menanyakan alasan mengapa aku mencintaimu, satu alasan saja tidak cukup untukku menjawabnya." tambahnya.
Dan lelaki itu menyentuh dagu perempuannya. Menarik wajah cantik itu hingga lebih dekat dengannya, kemudian membisikkan sesuatu tepat di atas bibirnya yang sedikit terbuka.
"I love you, Nona 259 Milyar."
Seberkas cahaya menyelubungi lelaki itu. Tidak butuh waktu lama keadaan berubah drastis ketika lelaki itu membuka mata secara tiba-tiba dengan napas terengah. Keadaan tidak sama lagi saat dia terbangun dari mimpinya. Dia berada di dalam kamar sendirian, dan tidak ada perempuan yang baru saja datang dalam mimpinya itu.
Mimpi yang aneh.
Lelaki itu mengusap wajahnya. Hampir tiap hari dia memimpikan hal yang serupa. Mimpi itu berulang. Wajah dua orang yang saling mencintai itu tidak terlihat begitu jelas. Tapi entah mengapa lelaki itu merasa dirinya lah yang berada di dalam mimpi tersebut.
"Tidur siangnya pulas banget sih?" terdengar suara seorang wanita yang muncul tiba-tiba di ambang pintu kamarnya. Wanita berpenampilan seksi dengan rok ketak selutut dan blus yang dilapisi blazer cantik seolah pakaian itu dijahit khusus untuknya. Wanita itu adalah ibunya yang berprofesi sebagai wanita karir bergelimang harta. Wanita dengan banyak beban tanggung jawab di pundaknya sepeninggalan suaminya dan tidak betah tinggal lama di rumah.
"Hari ini aku tidak datang ke kantor." Lelaki itu menjawab ibunya dengan nada datar sambil menyingkap selimutnya. Udara dingin dari air conditioner di kamarnya melingkupinya begitu saja.
"Itu mengapa kamu tidur." Wanita itu mendekatinya di ranjang. "Mama lihat kamu kelelahan sekali. Lanjutkan saja tidurmu, Ali."
Lelaki itu tidak menjawab. Dia beranjak ke kamar mandinya meninggalkan ibunya yang menghela napas berat karena tidak diacuhkan.
Di bawah shower dengan air yang mengalir deras membasahi rambut itu Ali terdiam dengan tangan yang dia tempelkan di dinding. Dahinya mengernyit memikirkan mimpi yang dialaminya. Kalimat demi kalimat terasa tidak asing dalam benaknya. Merasa seolah dirinya pernah mengatakan hal itu sebelumnya.
"Aku tidak bisa membohongi diri bahwa selama ini aku mencintaimu."
Dahinya semakin berlipat-lipat. Tangannya memukul dinding dengan keras. Mata tajamnya menatap pantulannya sendiri di dinding yang dilapisi kaca itu. Kaca tersebut mulai berembun karena uap air hangat yang dia nyalakan.
"I love you, Nona 259 Milyar."
Untuk kalimat yang satu itu membuatnya tertawa. Memecah topeng datarnya begitu saja. Namun, tawanya terkesan mencemooh dan terjadi dalam waktu singkat.
"Nona 259 Milyar?"
"Ini benar-benar gila."
Lelaki itu menyudahi kegiatannya membersihkan badan. Dia membungkus badannya dengan jubah handuk berwarna putih. Sejumput rambut menempel di dahinya dengan air yang menetes. Membuat dirinya terlihat lebih tampan bahkan bisa dikatakan seksi untuk laki-laki maskulin sepertinya.
Di kamar itu, ibunya sudah tidak ada. Lelaki itu menghampiri lemari mengeluarkan pakaian. Celana khaki berwarna hitam dan kemeja biru langit menjadi pilihannya. Ali terlihat sempurna begitu mengenakannya sambil becermin mengancingkan lengan kemejanya. Tidak seperti perempuan yang berdiam di hadapan cermin dalam waktu lama, lelaki itu hanya melihat penampilannya sebentar sambil merapikan rambut lalu setelah itu pergi meninggalkan kamarnya.
Saat menuju lantai utama para pelayan yang melewatinya selalu berhenti sejenak dan menunduk sopan. Memberikan jalan padanya dengan minggir sejenak. Lelaki itu hanya memandang lurus dengan ekspresi yang luar biasa dingin.
"Siapkan mobil untukku." Lelaki itu bicara pelan pada pelayan lelaki yang baru saja menunduk hormat padanya. Pelayan itu mengangguk kemudian jalan lebih cepat ke luar karena harus tiba lebih dulu sebelum tuannya itu untuk membukakan pintu untuknya.
"Alfairali Nathaniel!" sebuah seruan menghentikan langkah lelaki itu. Melihat ibunya datang dari ruang tengah rumah besarnya. "Kamu mau ke mana?"
Lelaki itu hanya menatapnya datar.
"Ali!"
"Aku pergi menjemput Kalina," jawabnya dengan nada rendah. Lelaki itu memang ingin menjemput perempuan yang baru saja dia sebutkan namanya. Perempuan itu tidak lain adalah tunangannya. Sebenarnya dia diminta untuk menjemputnya pagi tadi, namun lelaki itu malas dan lebih memilih diam di ruang kerjanya hingga pindah ke kamar untuk tidur siang.
Namun sekarang dia akan menjemput tunangannya itu di mall. Meskipun tidak suka dengan keramaian, namun lelaki itu berpikir dia bisa meninggalkan tempat itu dengan cepat bersama tunangannya ke sebuah tempat yang dapat menenangkan pikirannya.
"Bukannya Kalina meminta dijemput pagi tadi?" tanya Nadine, ibunya.
"Oh, pasti Kalina kesal kamu nggak menjemputnya pagi tadi. Kalina ada di salon soalnya, kamu kan nggak suka tempat itu makanya kamu tinggal tidur. Terus sekarang kamu menjemputnya di mana?" Nadine menebak begitu saja karena gemas putra bungsunya hanya diam saja.
"Di Mall."
Jawaban yang singkat, membuat Nadine tersenyum namun dipaksakan. "Ya sudah, hati-hati." tanpa membalas, putranya itu langsung pergi. Masuk ke mobilnya meninggalkan halaman rumah. Lagi-lagi Nadine menghela napas berat karenanya. Sikap putra bungsunya itu sama persis dengan almarhum suaminya. Irit sekali dalam bicara. Berbeda dengan putra sulungnya yang berada di Milan karena memiliki sifat menurun darinya.
Nadine mengernyit. Dia merasakan sesuatu yang aneh belakangan ini. Memiliki putra sedingin Alfairali Nathaniel membuatnya seakan-akan pernah memiliki putra sepertinya sebelumnya.
Nadine pun berpikir. Apa di kehidupan sebelumnya dia memiliki putra seperti Ali?
Gimana prolognya? Sedikit dulu yaaa... Prilly muncul kapan yaa??? Tunggu update selanjutnya;) semoga suka sama MWB 2 yang penuh misteri ini :v jangan lupa tinggalkan jejaknya setelah baca (aku lebih suka komen sih hehe)