Bab 4

64.7K 6K 383
                                        

Saat Ali menuju kamarnya, langkahnya terhenti melihat Prilly berdiri kebingungan di dekat guci besar tepat di samping sebuah kamar milik kakaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Ali menuju kamarnya, langkahnya terhenti melihat Prilly berdiri kebingungan di dekat guci besar tepat di samping sebuah kamar milik kakaknya.

"Sedang apa di situ?" tanya Ali. Suaranya itu meskipun pelan namun membuat Prilly terkejut. Prilly menoleh ke arahnya sambil tersenyum lebar.

"Aku bingung kamar kamu yang mana, abis banyak banget kamar di rumah ini."

"Jadi kamu hanya berdiri di sana sejak tadi? Kenapa tidak bertanya pada pelayan di sini?"

"Hehehe." Cengegesan itu membuat Ali geram.

"Cepat ikut!"

Prilly mengekori Ali mengejar langkahnya susah payah karena rok batik pengantin yang dia kenakan. Mereka berjalan melewati beberapa kamar sampai menemukan satu kamar yang paling jauh menurut Prilly dari posisinya berdiri di pintu kamar sebelumnya. Kamar itu adalah satu-satunya kamar yang tidak memiliki tetangga seolah dikhususkan karena penghuninya tidak suka kebisingan dari penghuni kamar lain. Rupanya penghuni kamar itu adalah Ali. Lelaki itu membuka pintunya tanpa menyilakan Prilly masuk, akan tetapi Prilly tetap mengekorinya ke dalam.

"Ini kamar kamu?"

Kamar nuasa hitam, abu, dan putih itu membuat Prilly terkagum-kagum. Temboknya bersih tidak seperti tembok kamarnya yang dipenuhi oleh coretan jadwal serta rumus-rumus pelajaran yang dia buat sejak masuk SMA. Keadaan kamar Ali itu membuatnya malu, terlihat sangat rapi dibandingkan kamarnya yang berantakkan untuk perempuan dewasa sepertinya.

"Bagus banget kamar kamu. Kamar aku aja nggak serapi gini."

Prilly melihat Ali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Jemari lelaki itu memencet beberapa digit nomor seperti ingin menghubungi seseorang.

"Istirahat di sana." Lelaki itu melirik tempat tidur besarnya sambil menempelkan ponsel ke telinganya.

"Oke!"

Prilly duduk di tepi kasur empuk itu sambil melepas riasan di kepalanya, kemudian melirik Ali ketika terdengar suara lelaki itu saat berbicara dengan seseorang di telepon. Tak lama Prilly pun mengeluarkan ponselnya menelepon Papinya dan bicara ketika panggilan terhubung.

"Papiii gimana keadaan Papi sekarang? Aku harap baik-baik aja. Papi kan kuat, aku yakin sebentar lagi Papi pulang ke rumah kan kata dokter Papi nggak apa-apa cuma luka sedikit di lutut Papi."

Hening.

Tentu saja tidak ada jawaban di seberang sana. Seperti yang sudah pernah Prilly lakukan saat menghubunginya, Papinya hanya menempelkan ponsel di telinga mendengarkan Prilly bicara. Prilly tahu karena Mbok Nami pernah mengatakannya.

"Papi, aku mohon sama Papi jangan memaksakan diri Papi untuk bangun lagi ya. Aku nggak mau Papi jatuh lagi. Aku yakin suatu saat Papi sembuh."

Mata Prilly memanas. Membayangi kejadian kemarin sebelum dia datang. Papinya pasti berusaha bangun dari kursi roda karena keinginannya untuk bisa berjalan lagi. Prilly pun mengalihkan pembicaraannya demi menepis rasa sesak yang bergerumul di dadanya karena kejadian itu.

Marry With Boss 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang