10 •Air Mata•

8.7K 668 3
                                    

"Apa kamu bilang?" tanya Mami dengan posisi berdiri.

"Kurang jelas ya, Mi, ucapan Kei barusan?" tanya Kei.

Sandra ikut berdiri di samping Mami, "Kei, jangan gila kamu,"

"Maksudnya?" tanya Kei tidak tahu apa maksud ucapan kakak perempuannya itu.

"Kita disini untuk membicarakan pertunangan kamu dengan Tera, bukan untuk mendengar kamu memperkenalkan calon istrimu," ujar Sandra.

"Keizaro tidak menyukai Tera, dan Kei tidak mau tunangan bahkan berumah tangga dengan Tera," ucap Kei.

"Kenapa kamu tidak menyukai anak saya?" ucap tante Hilda menyela.

"Karena Tera bukan tipe saya," jawab Kei.

"Bukan tipe bagaimana maksudmu?" tanya tante Hilda dengan suara yang lebih tinggi.

Adistia merasa dirinya tidak pantas berada disini sekarang. Ini sama saja dia mengacaukan acara yang ada di rumah Kei sekarang.

"Kei, sudah. Lebih baik aku pergi saja," ucap Adistia berbisik.

Kei menggeleng, "Gak, Dis. Kamu tetap disini sampai semuanya selesai,"

Adis hanya bisa diam. Bagaimana ia bisa kabur jika tangannya saja masih digenggam oleh Kei.

"Mami gak akan merestui hubungan kalian berdua. Kamu tahu, Kei, kamu ini memilih wanita yang berbeda agama dengan keluarga kita," ujar Mami masih emosi.

"Kei tau dan itu bukan masalah untuk Kei. Kalau perlu, Kei akan menjadi mualaf, Mi," ucap Kei.

Mami termangu mendengar ucapan anak bungsu nya ini. Ia memegang jantungnya yang berdetak tidak teratur. Dan tubuhnya limbung seketika.

"Mami?!" teriak Sandra dan Frans.

Papi berdiri dan mulai membawa Mami masuk ke dalam mobil menuju rumah sakit terdekat.

"Kamu udah puas, Kei, bikin jantung Mami kambuh lagi, hah?!" teriak Sandra tepat di depan wajah Kei.

Kei hanya terdiam. Ia mengeratkan genggamannya di tangan Adistia.

"Kei, jangan egois," ujar Frans. Rumah pun menjadi sepi, menyisakan Kei dan Adis yang masih setia duduk di atas sofa.

Adis masih berusaha melepas tangannya dari genggaman Kei. Berhasil. Adis sekarang mulai beranjak dan berniat pergi dari rumah Kei. Namun, baru selangkah, Kei menahan tangan Adistia.

"Tolong jangan pergi," ucap Kei lirih. Mendengar suara Kei, Adis pun kembali mendudukkan dirinya di samping Adistia. Mereka saling terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Kamu bercanda kan, Kei, mengakui aku adalah calon istri kamu?" tanya Adistia.

"Tidak," jawab Kei singkat.

"Tapi, Kei, ---"

"Karena kita beda agama?" potong Kei.

Adis mengangguk, "Kita juga baru kenal, Kei,"

"Gak, Dis. Kita udah deket dari lama tapi aku lupa semuanya," ujar Kei.

"Mungkin itu bukan aku, Kei," bantah Adis.

"Itu kamu, Dis. Aku percaya itu. Setiap aku liat wajah kamu, aku merasa tidak asing,"

Adis terdiam.

"Kita bisa ngomong baik-baik untuk masalah ini. Dan aku tetap mau kamu menjadi calon istri saya,"

"Tapi aku belum tentu mau, Kei,"

Cinta Seorang Mualaf [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang