Bel pulang sekolah sebentar lagi berbunyi. Sheila membereskan buku-bukunya dengan cepat. Ia melirik Vien dan Dion, mereka menganggukkan kepalanya.
"Lo berdua harus bantuin gue." perkataan Sheila saat jam istirahat tadi.
Setelah bel berbunyi, Devin hendak keluar kelas namun mendadak Dion mencekal tangannya. "Dev, pulpen gue mana ya? Bantuin cari dong." ucap Dion dengan nada memelas.
Meski terpaksa akhirnya mereka berdua mencari pulpen Dion, yang sebenarnya tidak hilang itu. Sementara sebagian besar siswa telah pulang.
Sheila dan Vien menunggu di lorong, yang langsung terhubung menuju parkiran. Karena mereka tahu Devin telah di jemput menggunakan mobil pribadinya. Dan pasti akan melewati lorong itu.
Beberapa menit kemudian, sosok yang di tunggu-tunggu muncul di kejauhan, Vien memberi tanda, dan Dion yang mengerti langsung pura-pura mau ke toilet.
Dan disinilah, Sheila berdiri membelakangi Devin, sedangkan Devin sedang berjalan dari jarak 10 meter menuju ke arahnya.
5 meter. Degup jantung Sheila semakin tidak karuan. Langkahnya begitu cepat dan berat.
1 meter. Dia berbalik. Menatap lekat bola mata Devin. Semoga belum terlambat.
"Gue suka sama lo, Devin."
Devin menghentikan langkahnya. Sedikit terkejut, melihat seorang gadis tiba-tiba berdiri di depannya dan menyatakan perasaannya.
Dia mengernyit. "Lo siapa?"
Deg.
.
.
Sheila mematung. Hatinya telah hancur sekarang. Kakinya terasa lemas. Lidahnya terasa kelu untuk bicara. Ia hanya terdiam. Namun air matanya terus menetes tanpa diperintah. Menatap sosok di depannya, dalam sendu.
Devin yang merasa aneh pun melanjutkan langkahnya. Melewati Sheila, begitu saja.
Gadis itu berbalik. Menatap Devin dari belakang. Semakin menjauh. Hingga akhirnya hilang dari pandangan. Tangisnya pecah. Ia terduduk di lorong yang sepi, suaranya menggema membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa iba. Tangis yang menyakitkan.
Vien dan Dion hanya bisa mengelus dan menepuk pundaknya untuk menenangkan Sheila. Mereka sadar tangisnya akan sulit di hentikan.
Dalam keadaan kalap, Sheila mencengkram kerah seragam Dion. Vien pun sempat mencegah namun malah dorongan keras dari Sheila yang ia dapat.
"Devin kenapa?! Dia sakit apa?! Kenapa dia bisa lupa sama gue?! Jelasin ke gue Dion... gue mohon kasih tau gue... Dion... gue mohon." Sheila mengatakannya sambil sesenggukan dan terus menangis. Dia sangat kacau sekarang.
Dion menjadi tak tega melihat Sheila yang seperti ini. Apa ia harus mengatakannya? Ia sejenak berpikir kemudian melepaskan cengkraman Sheila perlahan.
Sheila mendongak menatap Dion. Mencari jawaban dari mata itu. Dion berkata sambil menunduk, suaranya pelan sekali. "Credula Cerebrum Morbo. Penyakit langka yang... belum ditemukan obatnya."
Dan detik itu juga, warna dalam kehidupan Sheila, sirna.
× × ×
Happy Reading yaoo😁
Gimana rasanya kalo jadi Sheila😔
Salam, Mel💘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fault
Historia CortaKenapa penyesalan selalu datang di akhir? Pertanyaan yang sama. Setiap hari. Setiap bayangmu selalu mengisi pikiranku. Hanya bayangmu. Tanpa hadirmu. Tak seperti dulu. Bukan ini yang ku inginkan, aku harus bagaimana?