[]
Kereta yang aku naiki bersama dengan Joshua akhirnya sampai di stasiun tujuan kami. Aku segera keluar dengan tergesa. Bukan apa-apa, tapi tadi Joshua berkata aneh dan sekarang dia malah diam membisu. Aku ingin sekali mengajaknya mengobrol, karena setelah ku pikir-pikir, Joshua tidak seburuk itu. Dia cowok baik, polos, dan manis.
"Eum, Joshua," aku berbalik. Menatap cowok yang lebih tinggi dariku dengan sedikit mendongak. Oke, aku tau kalau aku pendek jadi jangan menghinaku,
Mata kecokelatannya menatapku kaget sekaligus bingung, aku sendiri juga bingung mengapa aku malah mengajaknya untuk berbicara.
"Ya? Wae?" cowok itu bertanya.
Aku menghela napas, seharusnya ini mudah. "Tadi kan, kamu bilang kalau kita bisa berangkat bersama mulai besok. Jadi, aku ingin menunjukkan jalan rumahku.." aku melihat sekitar, mencari rute jalan di mana aku akan sampai ke rumah. "Nah, aku lewat san--"
"Aku juga lewat sana," potong cowok itu dengan santainya.
Aku diam, mataku terbuka sempurna. "Ne? Wae? Kok bisa?" ku pikir, mungkin memang Joshua adalah teman laki-laki pertama di SMA yang Tuhan kirimkan.
Tawa laki-laki itu meledak, matanya kian menyipit dan cowok itu sedikit membungkuk. Memegangi perutnya yang mungkin terasa sakit. "Iya, yah, kok bisa rumah kita searah?" cowok itu mengatur napasnya, tersenyum. "Kalau begitu, kajja!" cowok itu menarik tanganku agar berjalan di sampingnya.
Perjalanan pulang menuju rumah diisi oleh obrolan Joshua soal kepindahannya di dekat sini, di daerah rumahku. Cowok itu berkata bahwa dia berasal dari luar Seoul, daerah terpencil di Korea Selatan. Langkah kami selalu seirama dengan senyum dan tawa Joshua menghiasi sisa hari yang kian gelap. Ketika matahari benar-benar tenggelam, aku sampai di depan rumahku. Cowok itu diam, memperhatikan halaman rumahku yang dipenuhi oleh pohon hias milik Eomma.
"Rumahku tinggal beberapa langkah lagi dari sini," ucap cowok itu, kemudian dia menatapku. "Kalau begitu, sampai jumpa besok," tambahnya kemudian berjalan kembali meninggalkan aku yang tersenyum.
Tanpa sadar, aku memanggil namanya membuat dia refleks menoleh. "Sampai jumpa besok, Joshua!" teriakku kemudian mengeser gerbang rumahku dan berjalan masuk ke dalam rumah setelah menekan bel.
Di dalam rumah hanya ada Eomma yang tengah memasak di dapur, Appa sepertinya belum pulang.
"Ya! Kau sudah pulang, Yoobin-ya!" teriak Eomma dari dapur ketika aku tengah membuka sepatu.
"Ne~"
"Kau lapar?" Eomma menghampiriku yang tengah menarik tas punggungku. Rasanya berat.
Tapi pertanyaan Eomma terasa ringan dan mudah karena wanita itu kadang agak aneh. "Tentu saja, Eomma. Aku lelah dan lapar," aku merajuk sambil berusaha memeluk Ibuku tapi dia malah menjauh sambil menutup hidungnya.
"Kau mandi dulu, sana!"
Aku mendengus dan berjalan menuju kamarku dengan malas-malasan. Sampai di kamar, bukannya mandi, aku malah membua ponsel dan melihat pesan dari Yuju.
=Yuju=
Hei, kau sudah sampai rumah, Binnie-ya?
Jari-jariku bergerak liar di atas layar ponsel. Aku menghela napas panjang kemudian bangkit untuk mandi. Badanku terasa lengket dan bau.
Selesai dari ritual mandiku, aku melihat ponselku yang sejak tadi bergetar. Rasanya menyebalkan karena ponsel ini terus-terusan berbunyi. Ku pikir, Yuju atau kedua sahabatku yang lain mengirimiku pesan, ternyata malah nomor yang tidak ku kenal dengan isi pesan aneh.
YOU ARE READING
Spring and Goodbye First Love
FanfictionDi musim semi ini, aku mengucapkan selamat tinggal padamu, cinta pertamaku. ^^^ Pada awal semester di musim semi, Binnie bertemu dengan seorang laki-laki. Mereka berteman hingga percikan itu datang. Percikan yang disebut cinta. "Kadang manu...