Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku kembali berangkat bersama Joshua. Kali ini aku benar-benar berangkat bersama Joshua, tanpa Yuju dan bayi besarnya. Aku memperhatikan setiap pemandangan yang kami lewati meski sama sekali tidak menarik. Karena yang terlihat hanya tembok beton yang kokoh. Sesekali aku melirik bagaimana kondisi Joshua, sama sekali cuek. Oke, aku bukannya merasa bosan, hanya saja pagi ini Joshua terlihat sangat cuek dan lesuh.
"Ya! Kau sedang ada masalah?" tanyaku sambil menyenggol lengannya kasar.
Cowok itu menghentikan kegiatan membacanya, menatapku sebal. "Tadi malam aku begadang gara-gara matematika sialan itu," jawab cowok itu sambil memajukan bibirnya, cemberut.
Astaga, yang benar saja!
"Aish, jinjja? Kau seperti bocah Jo, matematika nggak seburuk itu," balasku dengan pandangan aneh.
Joshua kini menatapku, penuh rasa sebal yang mungkin sudah menumpuk di dalam otaknya. "Aku tau kamu pinta, Bae Yoo Bin, tapi nggak seharusnya kamu meremehkan pelajaran sialan itu," ucap cowok itu, kemudian tersenyum. "Bagaimana kalau nanti kau mengajariku matematika?" cowok itu bertanya, matanya terlihat bersinar seperti lampu taman. Terang, penuh kedamaian.
"Ah, bisa sih... tapi hari ini aku ada kegiatan klub. Kau tidak lupa soal jadwal kegiatan ku, kan, Joshua?" aku menatapnya penuh keraguan karena aku takut dia lupa.
Tapi dia mengangguk, dan senyumnya masih sama lebar. "Ne, Binnie, aku nggak bilang kalau kita belajar bersamanya saat pulang sekolah," kata cowok itu. "Kita belajar saat istirahat pertama, di atap. Ku dengar dari Seungcheol kalau atap sekolah kita benar-benar nyaman," sambungnya.
"Jinjja?"
"Hm."
"Kul, kita belajar di atap saat istirahat nanti," ucapku kemudian sebelum kami turun dari kereta.
[]
Siang itu, langit terlihat sama indahnya seperti hari-hari sebelumnya. Tapi, mungkin yang dikatakan oleh teman Joshua benar. Pemandangan di atap benar-benar keren. Dari sini akan terlihat lapangan sepak bola yang luas, di sampingnya terlihat lapangan untuk basket, kemudian panas yang menyebar itu terasa hangat di kulit. Angin sepoi membelai wajahku ketika baru saja memasuki atap.
"Benar kan, apa yang dikatakan temanku?" Joshua berdiri di sampingku, sama-sama memperhatikan pemandangan di bawah sana.
Aku mengangguk penuh semangat. "Temanmu benar. Di sini menyenangkan," jawabku, kemudian menunjukkan buku latihan soal matematika yang akan menemani beberapa menit istirahat kami ini. "Yuk, kita harus belajar bukan?" aku menarik lengannya, menyuruhnya untuk duduk di kursi kayu yang tersedia di atap.
Selama aku mengajari Joshua, cowok itu nampak memperhatikan dengan serius. Ketika dia mulai mengerjakan soal, matanya nampak tajam dan fokus. Aku sempat tidak mengenalinya sebagai sosok cowok imut bermata penuh sinar kebahagiaan saat melihat dia serius belajar. Tapi sungguh, dia benar-benar sosok yang susah ditebak.
Samar-samar, aku mendengar seruan dari bawah di mana beberapa siswa cowok tengah bermain futsal. Aku memilih untuk berjalan ke arah pagar pembatas yang menyujuhkan pemandangan cowok-cowok bermain futsal. Mataku bergerak liar, seperti ingin tahu.
"Wah, HyunWon sunbaenim keren sekali!" seruku terlalu senang hingga melupakan fakta bahwa Joshua bersamaku, dan dia tengah memanggilku karena ada soal yang tidak ia mengerti.
Cowok itu tiba-tiba sudah berada di sampingku, menepuk bahuku cukup kencang. "Ya! Aku memanggilmu," ucap cowok itu sedikit kesal.
Aku menoleh cepat. "Eh? Aish, aku lupa kalau kita lagi belar. Mianhae," aku tersenyum, namun Joshua masih memasang wajah marahnya dan menunjuk ke arah pintu masuk.
YOU ARE READING
Spring and Goodbye First Love
FanfictionDi musim semi ini, aku mengucapkan selamat tinggal padamu, cinta pertamaku. ^^^ Pada awal semester di musim semi, Binnie bertemu dengan seorang laki-laki. Mereka berteman hingga percikan itu datang. Percikan yang disebut cinta. "Kadang manu...