Chapter 12.0 - The Emotions

1K 112 18
                                    

Seberkas cahaya mendobrak kedua kelopak mata Reinard.  Sejenak, ia menutup kedua matanya rapat-rapat. Menolak serangan dari objek yang membutakan penglihatannya. Namun, beberapa menit kemudian, ia menyerah.

Serangan gerilya dari kumpulan spektrum cahaya itu membuat kesadarannya terus membaik. Dikerjapkan kedua matanya sebanyak tiga kali, hingga ia mampu mengontrol pergerakan kepalanya.

Saat ini, posisi kepalanya terlipat ke arah dada. Memandang ubin hitam juga kedua kakinya yang bersila. Beberapa helai jerami yang bertebaran di lantai pun, menjadi objek lain dari penglihatannya. Dari posisinya, seolah-olah jerami tersebut bagaikan karpet hangat yang melindungi dari dinginnya ubin.

Belum puas, digulirkan kedua bola matanya ke sisi kanan. Terdapat sebuah keranjang berwarna cokelar sejauh lima meter di dari posisi Reinard. Sekilas, Reinard melihat dompet, kunci motor, handphone, earphone, dan uang beberapa lembar miliknya tersimpan di keranjang itu.

Tidak jauh dari sana, Reinard melihat gulungan perban dan tumpukan kapas. Tidak lupa gunting operasi berwarna silver yang memantulkan cahaya pun, ikut hadir dalam penglihatan Reinard.

Tiba-tiba, sebuah sengatan kecil di bagian belakang kepalanya, membuatnya meringis pelan. Tangan kanannya bergerak hendak memeriksa titik tersebut. Namun, sebuah tarikan yang menahan pergerakannya, membuat Reinard tersadar akan situasi saat ini.

Dalam ringisan kecil, Reinard mendongakkan kepalanya perlahan. Dipicingkan kedua matanya, guna mengurangi cahaya yang masuk. Sesaat kemudian, tampak sebuah bayangan hitam menjuntai ke bawah. Diikutinya sosok bayangan itu, hingga ia menyadari sosok itu adalah tali berwarna putih.

Tali tersebut melingkar di kedua pergelangan tangan Reinard. Lalu, dilempar ke atas melalui besi yang memanjang, sehingga menyerupai fungsi roda katrol. Kemudian, sisi ujung tali tersebut terikat pada pasak besi sejauh sepuluh meter di depan Reinard.

Namun, Reinard terdiam tatkala kedua matanya melihat objek lain sejauh lima belas meter dari dirinya. Seseorang bertubuh kecil tampak tengah duduk disebuah kursi kayu. Kepalanya yang  ditutupi oleh kantung hitam itu tertunduk lesu. Kedua tangannya berada di belakang, seperti diikat oleh sesuatu. Sedangkan, kedua itu pergelangan kakinya, terikat pada masing-masing kaki kursi.

Sepersekian detik kemudian, sebuah nama terlintas di benak Reinard. Sebuah nama yang si Pemiliknya memilih tubuh persis seperti sosok tersebut. Keyakinan akan sosok asing yang duduk terikat itu semakin kuat, tatkala Reinard melihat motif ceklis berwarna putih di sepatunya.

"Nayla ... argh!" ujar Reinard dengan suara parau. Reinard berdecak kelas. Digerakan kedua pergelangan tangannya ke segala arah. Namun, usahanya itu 'tak membuahkan hasil yang bagus.

Oh iya! Gue bisa pake cara ini .... Dipegang tali itu dengan kedua tangannya. ... satu dua .... Dalam satu tarikan, diangkat tubuhnya itu hingga berdiri dengan kedua kakinya. Terdapat sisa sepanjang kurang lebih satu meter, sehingga Reinard bisa menurunkan kedua tangannya seperti biasa.

Merasa cukup mengistirahatkan kedua tangannya, Reinard berjalan dan mendekati gunting berwarna silver tadi. Namun sayang, tali putih tadi kembali menengang. Ditariknya tali itu sekuat mungkin, tapi hal itu hanya menimbulkan rasa sakit di pergelangan tangannya.

Sial! gumam Reinars seraya mengedarkan kedua matanya.

Tiba-tiba, tengar beberapa pasang langkah kaki dari sisi kiri Reinard. Kemudian, sebuah pintu besar dari kayu terbuka lengkap dengan suara derikan.

Seorang pria berbadan kecil pendek melangkah masuk ke dalam ruangan. Disusul lima pria bertubuh gemuk yang melangkah beriringan di belakangnya. Dari cara berpakaiannya, Reinard menduga lima pria bertubuh gemuk adalah sosok orang berdompet tebal.

Jas dengan gaya american cut, rambut hitam klimis mengkilap, jam Rolex berwarna emas, dan sepatu mengkilap dari kulit buaya menambah kesan high-class di benak Reinard.

"Pada zaman dahulu," ujar si Pendek seraya berhenti diantata Reinard dan Nayla, "Indonesia tidak hanya terkenal karena rempah-rempahnya, tapi juga karena peternakannya. Ayam, kambing, ikan, udang, juga sapi. Semua itu membuat para penjajah sering memilih menikmati semua yang ada di tanah Ibu Pertiwi ini.

"Khusus di Kabupaten Bandung, di sini terkenal akan peternakan sapinya. Dan di sini adalah bekas peternakan yang terkenal di Indonesia pada zamannya. Ah, tidak ... mungkin se Asia, atau bahkan sedunia. Oleh karenanya, banyak orang asing yang hingga detik ini, datang ke Indonesia untuk membuktikan legenda tersebut."

Sejenak, si Pendek itu melirik ke arah Reinard yang mematung membisu. "Mungkin kalian semua masih ingat akan pelajaran Agama sewaktu SD. Jika, Tuhan menciptakan semua di muka bumi ini berpasang-pasangan. Siang dan malam. Matahari dan bulan. Pria dan wanita. Khusus di kingdom Animalia, kita mengenal dua istilah akan hal ini. Yang jantan ...," ujar si Pendek seraya kembali menengok ke arah Reinard, "... juga yang betina," imbuhnya seraya menengok ke arah Nayla.

Reinard terdiam mendengar penjelasan tadi.

"Dalam merintis usaha baru, kita lebih baik fokus pada satu hal. Bukannya tidak boleh untuk mengelola secara langsung dua hal, tapi ... kita harus mengakui bahwa, kita hanyalah manusia 'tak berdaya. Benar?"

"Benar," jawab ke Lima pria gemuk itu bersamaam.

"Karena itu, biarkan saya menjelaskan rencana-rencana ke depan untuk mempermudah anda. Jika anda memilih memulai berusaha sapi jantan. Hanya ada dua keuntungan yang membuat anda sukses: tenaganya dan dagingnya.

"Namun, dewasa ini tenaga sapi tidak dibutuhkan. Berbeda dengan zaman dahulu yang bisa menggantikan kerbau untuk menarik gerobak. Sedangkan, dagingnya ... itu artinya kita akan membunuhnya dan ... it's all done.

"Sementara sapi betina ...," ujar si Pendek seraya mendekati Nayla dari belakang dan mengusap dada kiri gadis itu dengan lembut, "... kita bisa memanfaatkan air susu sapi tersebut. Dan bahkan ... kita bisa mengawinkannya."

Reinard terdiam memandang si Pendek yang melakukan hal itu kepada Nayla. Kedua matanya terbelalak sekita, sedang mulutnya menganga terbuka. Kemudian, dirasanya hawa panas yang membuat darahnya mendidih. Jantungnya berdetak semakin cepat.

"Anjing!" teriak Reinard yang membuat si Pendek menghentikan kesibukannya.

"Sepertinya sapi jantan tampak marah."

"Sapi nenek moyang lo! Sini lo monyet!"

"Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan hal ini di sini. Bagaimana kalau kita lanjutkan di kamar sebelah?" usul si Pendek, "tenang ... sapi betinanya akan kita bawa. Kalian bisa bermaim dan mengamati terlebih dahulu, dan mencoba menjadi peternak sapi di sana."

Ke lima pria gemuk itu mengangguk setuju. Dengan perlahan, si Pendek melepaskan ikatannya dari kursi. Kemudian, sosok gadis itu terjatuh ke lantai 'tak berdaya. Lalu, dengan tenang si Pendek menarik tali yang masih mengikat pergelangam tangan Nayla, dan menyeretnya dengan kasar.

"Anjing! Mau lu bawa ke mana Nayla!" teriak Reinard lagi.

Sejenak, si Pendek berhenti dan memandang Reinard. "Isn't your bussiness right?" tanyanya pelan.

"Iblis! Setan! Babi! Monyet! Lo mau kemana kampret!"

Namun, si Pendek hanya terdiam dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Nay ... Nayla ... Nayla!" teriak Reinard seraya membuka kedua matanya.

Namun, Reinard terdiam memandang sosok di depannya yang tengah duduk di atas kursi. Diedarkan kedua matanya ke segala sisi, ruangan itu. Namun, sosok si Pendek dan ke lima pria gemuk itu menghilang.

"Sepertinya lo udah bangun."

Reinard menoleh ke arah kiri. Terdapat seorang pria berkumis dengan kemeja hitam lengan panjang yang dilipat, berjalan dari balik pintu kayu.

"Gue tahu lo baru bangun tapi, sampe ke bangun gegara mimpi. Tapi ...." Dengan cepat, pria berkumis itu mengeluarkan sepucuk pistol lengkap dengan peredam suara, dan diarahkan ke kepala Reinard. "... gue punya beberapa pertanyaan buat lo. Bisa?"

***

Dipublikasikan pertama kali:
29 Juli 2017

Flashdrive (#WYSCDCF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang