-°| Senja

5.8K 593 82
                                    

16:55 WIB

Tanpa deru.

Tanpa suara.

Dalam hening semua mulai menyadari sesuatu.

Dalam diam semua mulai menggerakkan sensor kinetiknya.

Mereka telah ada dalam satu suasana yang sama.

Kekhawatiran.

Semilir angin di tepi laut mengondensasyikan udara di sekeliling dermaga dan detik demi detik langit mulai merubah warnanya.

Hamparan diatas itu tak lagi berwarna biru berpadu putih.

Hitam.

Orange.

Seseorang mulai melangkahkan kakinya menuju tepi dermaga.

Langkahnya yang cepat dan terkesan tergesa tergerak sebagaimana detik berputar.

Dia,
Mengulurkan tangannya untuk meraih tubuh kekasihnya dari atas kapal.
Mendekapnya erat tanpa kontrol dari pusat syaraf juga melupakan semua alat yang melekat pada tubuh sang kekasih.

Derap langkah mulai terdengar menggema dari segala arah.

"Nona Keira sudah meninggal sebelum pesawat mengalami ditching. Tim Medis kami juga sudah melakukan segalanya untuk tetap mempertahankannya tapi maaf, Tuhan berkehendak lain ," kata seseorang yang berjas putih panjang yang baru keluar dari kapal.

Mr. Bram diam.
Hatinya seakan remuk.
Bibirnya tertutup rapat seakan terisolasi.
Kenyataan ini,
Sungguh membuatnya terdiam sembari menikmati kepedihannya yang terdalam.

Dulu, sewaktu Keira lahir.
Cita-cita sederhana Mr. Bram adalah menua bersama anak-anaknya dan saat ia meninggal, anak-anaknya lah yang mengantarkannya pada peristirahatannya yang terakhir.

Tapi nyatanya,

Justru Mr. Bram lah yang harus menguburkan anaknya sendiri.
[]
Terpukul? Sudah pasti.

Ingin marah? Tidak ada gunanya.

Darren menggeram.
Matanya memerah, tanggannya terkepal erat.
Amarahnya bersiap untuk kolaborasi dengan larva merapi juga deburan ombak.
Dan yang tergaris pada otaknya hanyalah membunuh orang yang menyebabkan adiknya meninggal.

Manda,
Dia terisak lirih.
Hatinya remuk redam.
Tubuhnya serasa luber seperti keju mozarella.
Kenyataan ini,
Kenyataan yang sangat memilukan.

Manda belum siap ditinggal pergi oleh gadis mungil, berparas ayu berwatak abstrak itu.

Aldan.
Otaknya terus memproduksi garis-garis tak beraturan.
Kenangan-kenangan selama 1 tahun yang lalu berputar dengan liarnya.

Hatinya berontak, tak tahan lagi untuk tetap diam.
Bibirnya terbuka, suaranya yang terdengar serak mulai merapalkan sesuatu yang mampu mengetuk gendang telinga siapa saja yang mendengarnya.

Sebentuk kekuatan kurang ajar yang tak Aldan tahu dari mana menggerakkan kepala yang tak berdaya itu. Didekatkannya bibir Aldan ke bibir Keira dan akhirnya bibirnya saling bertautan.
Desir hangat menjalar ke setiap persendiaan Aldan.
Pembuluh darahnya kini mendidih dengan sesuatu yang tidak terdefinisi dalam kaidah bahasa mana pun.

Keira tatap diam.

Tidak membuka matanya,
Ah
Jangankan membuka mata, menggerakkan tangannya saja tidak.

Sekilas.
Otaknya mulai berlogika.

Aldan! Tolong ingat!

Ini kehidupan nyata, bukan dongeng putri tidur yang di cium pangerannya dan berakhir hidup bahagia bersama.

Dunia Aldan runtuh seketika menimpa seluruh harapannya.

Ahhhhh.

"Ku mohon keajaibanMu Tuhan," lirih Aldan di sela-sela isaknya.



🍂

Kalau biasanya Keira lebih memilih menjelma menjadi bintang di malam hari dan matahari di paginya.
Tapi sepertinya untuk kali ini,
Keira memilih menjelma menjadi jingga yang turut lenyap bersama senja.

Meninggalkan Aldan beserta rasanya yang masih terus mengalir bak air pantai yang tak pernah surut.

COMPLEJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang