Pulang sekolah, seperti biasa kami (aku dengan panitia yang lain) kembali berkumpul di sebuah kelas.
Semuanya duduk memerhatikan Reyhan yang sedang berbicara di tengah-tengah. Memberi intruksi dan membagi tugas untuk panitia baru.
Aku membatin. Mengharapkan kamu bisa satu tim denganku. Pada saat itu, aku benar-benar lupa siapa namamu. Maklum, waktu seleksi panitia aku tidak memerhatikan lebih detil.
Reyhan sudah menutup pembicaraannya. Masing-masing panitia baru maupun yang lama, langsung berkelompok sesuai apa yang ia dapatkan.
Di kelas ini dibagi menjadi delapan pos untuk berdiskusi. Mulai dari pos penerima sumbangan sampai pos seksi konsumsi.
Di penerima sumbangan ada tiga orang termasuk aku yang sudah berkumpul. Deadline hari ini harus ada pembagian siapa-siapa saja yang akan menjadi contact person di poster. Atau ... siapa yang akan membawa sumbangan berupa uang, berupa baju, dan mungkin yang akan menyumbang melalui transfer.
Aku ke bagian yang akan menampung sumbangan berupa baju karena rumahku dianggap paling dekat di antara lainnya.
"Nanti pas bawa dari sekolah ke rumah, pasti dibantu sama lainnya kok."
Aku mengangguk. Mengiyakan apa yang dikatakan oleh Raiska.
"Salah satu di antara kita juga ada yang bawa mobil. Jadinya kalaupun sumbangannya banyak bisa sekalian diangkut."
"Sia -"
"Sori ya, tadi ke toiletnya agak lama." Aku mendongak. Melihat siapa yang memotong ucapanku. Suaranya terdengar sedikit ragu karena takut menganggu.
Ternyata, telingaku masih normal dan aku masih ingat siapa pemilik suara itu.
Suara itu milik dia. Orang yang aku lupa namanya.
Tapi aku ingat selalu wajahnya.
Doaku benar-benar terkabul.
"Nggak apa-apa." Temanku yang lain menyahut. Tapi aku masih diam saja mengamati dia. Wajahnya basah--seperti habis cuci muka. Sebagian rambutnya juga terkena air, meskipun sudah tidak ada lagi yang menetes dari sana.
"Mau tanya apa tadi?" Pertanyaan Raiska membuat aku sadar dan berpaling menatap Raiska.
"Itu Is, siapa yang bawa mobil emang?"
"Agam. Ya 'kan Gam?" Tatapan Raiska beralih lagi pada dia. Aku juga mengikuti. Menunggu respons yang ia berikan dengan perasap cemas.
"Iya bener." Dia menjawab seraya melepas dasi abu-abu yang masih melekat di kerahnya.
OH! Tiba-tiba hatiku menjerit. Mengetahui namanya saja sudah membuat aku senang setengah mati.
Saat itu, aku tidak mengerti apa yang ku rasa.
"Eh, kenapa emang? Bisa diulangin lagi nggak?" Dia, atau Agam kembali bersuara dengan ekspresi bingung.
Setelah itu, Raiska kembali menjelaskan. Bahwa, Agam ke bagian penerimaan dalam via transfer, untuk uang cash yang menerima adalah Steven. Raiska sendiri akan menjadi contact person di poster nanti sekaligus penanggung jawab dari pos penerimaan sumbangan.
"Oiya, tadi 'kan gue bawa-bawa mobil lo nih, itu tuh buat ngangkutin baju yang disumbang ke rumah dia." Raiska berbicara seraya menunjukku.
Agam hanya manggut-manggut dan aku diam saja.
"Udah jelas 'kan? Gue mau ke Reyhan dulu ya." Raiska berdiri lalu berjalan ke arah Reyhan yang sedang berbicara melalu telepon genggam.
"Ada yang punya tisu nggak?" Agam bersuara lagi. Steven hanya melirik dari layar ponselnya sambil menggeleng.
Aku membuka tasku seraya mencari. Dalam otak, aku berusaha mengingat. Dan dalam hati, aku kembali berharap kalau tisu yang biasa aku bawa ke sekolah masih ada.
Semoga masih ada, batinku pada saat itu. Meskipun hanya satu lembar.
Nyatanya, dewi keberuntungan memang sedang ada dipihakku hari itu. Dengan gaya yang biasa saja, aku menyodorkan satu pak tisu wajah yang tinggal setengah.
Kamu menerimanya dengan senyum yang terpasang di bibir.
Mampus! Manis banget.
Berkah banget emang ya pada hari itu.
"Makasih, Mi--ra?" katanya ragu-ragu saat menyebutkan namaku.
Aku menerima satu pak tisu punyaku saat ia mengulurkannya sambil berkata, "Iya. Mira."
"Makasih, Mira." Ulangnya kembali.
"Sama-sama, Agam."
Itulah kali pertama aku berbicara denganmu. Dan kali pertama juga aku merasa sangat bodoh.
Saat kamu menyebutkan namaku, rasanya aku seperti melayang dan dibiarkan mengudara dengan waktu yang sangat lama.
Menyenangkan sekaligus menyejukkan.
Bodoh aku memang bodoh.
Aku mengira, kamu tahu namaku karena kamu memerhatikanku lebih lanjut.
Tapi, nyatanya?
Kamu tahu namaku ya karena ada sebaris nama di seragamku bagian kanan.
Saat kamu ragu-ragu menyebutkan ... ternyata kamu berusaha melihat sebaris nama itu yang sebagiannya tertutupi oleh rambutku.
Aku berpikir terlalu jauh. Berpikir bahwa kalau ternyata kamu memerhatikanku. Berpikir bahwa kalau ternyata selama ini kamu diam-diam suka padaku.
Isi otakku memang sinetron abis.
Ah, sudahlah. Aku terlalu geer.
Ya, mana mungkin sih, diam-diam orang bening sepertimu menyukai perempuan yang ... ala kadarnya seperti ini?
Nampak saja tidak. Apalagi berharap disukai.
Aku bodoh.
[]
Lebih nyaman pake dia/ia atau kamu sih?
terimakasih buat nama "Rai"-nya meskipun aku ubah sedikit & tidak jadi aku jadikan pemeran utama HIHI Nisma0600 nggak tau ini bakalan ke tag apa enggak, yg penting maacih. luv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inilah Kita
Short StoryKalau di pikir-pikir, nggak ada salahnya berbagi tentang masa SMA yang sudah dilewati. Katanya berbagi itu indah, bukan? Apalagi, konon katanya masa-masa SMA itu adalah yang paling mengesankan. Awalnya aku nggak percaya. Tapi, setelah bertemu denga...