[08] Bantuan

64 13 3
                                    

Hari menjelang kegiatan baksos sudah sangat dekat. Saat itu, hari Sabtu, lagi-lagi para panitia harus merelakan jatah liburnya diambil oleh kepentingan seperti ini.

Kali ini tidak berkumpul di sekolah, melainkan langsung ke tempat panti asuhan yang sudah ditunjuk. Dari tahun ke tahun, panti asuhan yang akan diberikan sumbang tidak sama. Selalu berganti. Karena memang tujuannya berbagi secara merata.

Jadi setiap tahun, panitia baksos harus mencari panti asuhan yang sekiranya tidak terlalu jauh dari sekolah yang dianggap lokasinya paling tengah-tengah.

Matahari masih menyengat dengan hangat saat aku tiba di pelataran panti asuhan bersama teman-teman ku yang lain. Di sana, sudah ada Reyhan yang sedang berdiskusi dengan salah satu pegawai alat persewaan yang akan digunakan saat acara.

Aku duduk di pelataran teras panti dengan salah satu Ibu panti seraya melihat panitia perlengkapan yang berlalu lalang. Aku tidak seberapa berkepentingan di hari ini, karena memang pengumpulan sumbangan sudah berjalan dengan baik. Tetapi, namanya juga panitia, pasti harus membantu panitia lainnya.

Kata Ibu panti, di panti asuhan ini mayoritas semuanya masih berumur delapan tahun atau setara dengan kelas 2 SD. Ada juga yang masih balita namun, tidak terlalu banyak. Sekitar lima sampai delapan balita.

Agam menghampiriku setelah Ibu panti pamit ke belakang untuk membersihkan kamar mandi.

Dia terlihat keren seperti biasa. Memakai polo berwarna biru muda dengan celana jeans hitam seraya membawa kantung kresek berwarna putih yang tertera merek minimarket terkenal.

"Mir, kenapa gue nggak bisa seratus persen lupa sama dia?" tanyanya waktu itu sambil menoleh ke arahku.

"Seharusnya pertanyaan itu lo dedikasikan untuk diri lo sendiri, Gam."

"Gue ngerti. Tapi, gue nggak nemu alasan sebenernya apa yang membuat gue susah lupa. Jadinya, gue ingin mendengar jawaban dari apa yang lo lihat."

Aku berpikir sebentar. Kedua tanganku di belakang, menyanggah tubuhku sendiri. Sedari tadi, aku berbicara dengan Agam tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. "Mungkin, karena lo masih berpikir someday, lo bisa balik lagi sama dia."

Agam diam. Aku pun juga begitu. Kemudian, Agam menyerahkan satu botol air mineral kepadaku. Walau tidak tahu apa maksudnya, aku menerima dan langsung meneguk dua kali karena memang tenggorokanku perlu dibasahi.

"Atau lo terlalu memaksakan untuk melupakan?"

Agam mengangkat bahu lalu menoleh ke arahku.

"Apa?" Pada akhirnya aku bertanya pada Agam karena Agam tidak berniat mengalihkan padangannya.

Tentu saja aku risih.

Agam menggeleng, lalu mengalihkan pandangannya ke depan. "Bikin gue sadar, Mir."

"Apa sih?"

"Bikin gue sadar, kalo semua yang menyangkut tentang dia bukan urusan gue lagi."

"Dengan cara?"

"Bantu gue untuk move on."

Tidak tahu ada angin apa, saat itu aku mengangguk. Menyetujui apa yang ditawarkan oleh Agam.

Agam tersenyum kemudian menaruh tangannya di atas kepalaku seraya mengelus-elus dengan lembut.

[]

Inilah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang