[03] Kamu Ingat

109 17 5
                                    

Bunyi rintik-rintik hujan terdengar cukup keras. Turun membasahi bumi dan beradu aroma dengan tanah. Pas sekali, aku baru saja kembali ke kamar dengan satu cangkir teh di tanganku.

Kalau boleh melanjutkan, akan aku lanjutkan.

Kejadian beberapa tahun lalu itu kembali berputar mengelilingi pikiranku. Meskipun samar-samar masih mampu aku rasakan.

Bel menandakan istirahat berbunyi. Saat itu pukul sepuluh kurang lima belas menit. Kantin yang sebelumnya lenggang, langsung berubah menjadi hiruk pikuk tak tertahankan.

Aku benci suasana itu.

Tapi, hari itu, aku tidak membawa bekal ke sekolah. Alhasil, mau tidak mau, aku harus membeli di kantin kalau tidak mau mati kelaparan.

Ah, terlalu hiperbola. Mana ada orang tidak makan sekali langsung mati?

Ada. Kalau sudah takdir.

Nasi campur bu Titin menjadi pilihanku pada akhirnya. Ketika aku sudah berhadapan empat mata dengan bu Titin, langsung saja aku serahkan uang yang beliau terima dengan cepat.

Peluh keringat membanjiri dahi bu Titin. Ia menjaga seorang diri kantin ini sejak lama. Meski selalu kewalahan, tapi bu Titin menyukai pekerjaan ini. Karena memang berjualan nasi di kantin adalah satu-satunya mata pencaharian beliau.

Tidak sampai dua menit, bau nasi campur langsung menguar kuat di hidungku saat piring beling berwarna biru berada di tanganku. Setelah mengucapkan terimakasih, aku buru-buru menerobos antrian panjang yang menyesakkan dan menuju tempat duduk yang sudah ditempati lebih dahulu oleh temanku yang lain.

Aku makan dengan sedikit terburu-buru karena memang waktu yang diberikan untuk istirahat pertama tidak terlalu lama. Obrolan yang ada di meja berisikan lima orang itu juga tidak banyak. Hanya sekadar basa-basi supaya tidak sepi.

Lagipula, obrolan yang kami bicarakan juga yang pantas untuk dibicarakan di depan umum. Tidak mungkin 'kan, dengan keadaan kantin yang seramai ini, kami membicarakan berapa kilogram bedak yang digunakan oleh anak kelas sebelah?

Bisa-bisa kalau ada yang dengar, pasti dikira akan memancing keributan. Terlebih lagi jika yang mendengar adalah anak yang kami bicarakan atau salah satu teman anak itu.

Hahahaha. Sumpah.

Jadi ingat, dahulu, kami pernah ingin merealisasikan ide gila. Ide itu berupa surat kaleng yang rencananya akan kami kirim ke anak yang selalu memakai bedak tebal itu.

Sumpah! Seperti akan wisuda. Tapi bedanya ini, dipakai setiap hari ke sekolah.

Kebayang, nggak?

Tapi seketika ide itu musnah. Dengan alasan, kami tidak ingin menambah masalah. Kalau anak yang kami kirimkan surat kaleng itu tidak merespons dan dia diam saja, itu tidak masalah. Tapi, kalau dia lapor ke orangtua lalu orangtuanya ke sekolah itu yang menjadi masalah.

Terlebih lagi jika sekolah sudah mengusut dan akhirnya kami semua dipanggil ke ruang BK ataupun Kepsek.

Aduh, mit amit.

Memang, pada zaman itu, seorang siswa maupun siswi yang keluar masuk BK atau Kepsek dianggap nakal ataupun bermasalah. Padahal, sekarang, jika ada siswa-siswi yang ke BK, bisa saja siswa atau siswi itu sedang berkonsultasi tentang PTN yang akan mereka tuju.

Alhasil, kami semua tidak melakukan itu.

Makanan di piringku sudah habis. Setelah meneguk air mineral yang aku bawa dari rumah, aku bangkit dari tempat duduk menuju ke toilet.

Sendirian.

Karena memang, temanku yang lain masih menikmati makanannya.

Keadaan kantin sudah kembali lenggang, walaupun masih ada siswa-siswi yang berlalu-lalang.

Langkahku terhenti saat sebuah tangan mencekal pergelangan tangan kiriku. Padahal, dua langkah saja, aku sudah memasuki toilet yang bertuliskan wanita di pojok atas.

Aku menoleh.

Lalu terkejut.

"Mir, pulang sekolah ke ruang Osis dulu," katanya tanpa melepaskan tangannya.

Ragu-ragu, akhirnya aku membuka mulut. "Ada a-pa?"

Demi Lovato! Aku gugup.

Aku kesuliatan bernapas. Seketika oksigen yang gratis ini, hilang ke entah berantah.

"Baju di sana udah numpuk. Mau diangkut ke rumah lo." Dia mulai sadar. Lalu dengan salah tingkah, ia melepaskan tangannya dari tanganku.

Aku diam saja. Masih gugup seraya mengikuti pandangannya.

"O-oh, oke."

"Ya udah. Duluan ya, Mira."

Aku hanya mengangguk. Lalu dia berjalan menuju kantin.

Aku menghembuskan napas kasar.

Berbalik.

Lalu buru-buru masuk ke toilet dengan perasaan tak menentu.

Dia itu Agam.

Iya! Agam.

Astaga.

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Agam masih ingat denganku.

Maksudku ... pertemuan pertama dan terakhir itu, hanya sebatas Agam meminta tisu. Sudah sampai di situ saja. Kemudian aku tidak pernah bertemu lagi.

Di satu sisi, karena, tidak ada lagi rapat untuk panita baksos. Di sisi lain, karena, aku jarang sekali keluar kelas.

Kalau begini, sepertinya aku ingin sering-sering keluar kelas.

Supaya, sering-sering juga bertemu Agam.

Astaga, aku menggelikan.

Agam ingat. Dan aku sekarat.

[]

Inilah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang