[04] Rasa Hangat

94 15 10
                                    

Ruang Osis sementara dijadikan penampung untuk baju-baju yang telah disumbangkan. Dan benar kata Agam, ketika aku membuka pintu, pemandangan empat kantung kresek berwarna hitam menjadi objek yang cukup menonjol.

Terletak di pojok ruangan. Dan sedikit terlihat ... menganggu.

Raiska muncul disaat aku menyeret kantung kresek hitam yang kedua. Aku bermaksud menaruh keempat kresek itu di luar ruangan, supaya lebih gampang nanti dibawa dan mempercepat waktu. Karena sejujurnya, sedari tadi, perasaanku cemas tak karuan. Tidak tahu karena apa ... intinya aku cemas saat mengingat Agam akan ke rumahku.


Ya ampun. Padahal, Agam hanya berniat mengantarkan baju-baju itu. Bukan untuk bermaksud lain.

Rasa-rasanya, aku semakin tertarik dengan Agam.

Aku mendekati pojok ruangan untuk menyeret kantung kresek terakhir. "Ra, nanti gue bakalan telat ke rumah lo," kata Raiska.

"Masih ada Steven ini. Santai aja."

"Nah itu. Masalahnya gue sama Steven ke rumah lo. Lagian, yang bikin telat ya si Steven ini."

"Hah? Ya udah nggak apa-apa kalo nggak bisa." Aku kembali masuk ke dalam ruangan dan duduk di sofa berwarna hijau yang cukup hanya untuk tiga orang. Raiska duduk di kursi plastik yang berjarak empat langkah dari tempatku.

"Terus berdua aja gitu? Lo sama Agam?"

"Hah? Emang berdua aja?"

Raiska menyipit. "Lo lupa, apa gimana? Ya 'kan kita cuma berempat, Ra."

Hah. Otakku benar-benar lemot pada saat itu. Di satu sisi, aku merasa ini kesempatan bagiku untuk dekat dengan Agam. Ya ... bisa dibilang seperti modus.

Tapi, di sisi lain, aku bingung nanti kalau memang hanya berdua dengan Agam. Karena aku sendiri adalah pribadi yang membosankan.

Agak sedih gitu, ketika aku, bosan dengan diriku sendiri.

Hah. Diriku saja bosan dengan aku, bagaimana orang lain?

Ya ampun.

"Kalo emang lo sama Steven nggak bisa ikut, gue nggak masalah kok. lagian ini 'kan cuma nganter baju."

Tahu-Tahu, di ujung pintu, sudah ada Agam yang berdiri di sana. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Agam berjalan ke arah aku dan Raiska seraya masih menatap Raiska. Menunggu jawaban.

"Ye, sejak kapan lo di sana?"

"Sejak sembilan belas empat lima," jawab Agam cepat.

Raiska mendengus sedangkan aku tertawa kecil.

"Ye, garing lo!"

"Nggak lah. Mira aja ketawa." Agam yang tadi hanya melirik ke arahku, sekarang berubah haluan. Kepalanya berputar menghadapku dan matanya menangkap semua gerak-gerikku.

Tawaku hilang ketika Agam juga ikut tertawa kecil bersamaku.

Aku tidak berkedip sama sekali. Tidak tahu bagaimana keaadan mukaku pada saat itu. Yang ku tahu pasti, ketika tawa Agam masuk ke telingaku dan ketika matanya masih menatapku, di dalam dadaku langsung bergemuruh. Seperti geluduk di kala akan turun hujan. Namun, ritme ini terus berulang sampai membuat aku sesak kehilangan napas.

Delapan sekon setelah itu, Agam berhenti tertawa dan memutuskan kontak dengan mataku.

"Terus jadinya gimana nih?" Agam bertanya.

"Ya nggak gimana-gimana. Gue bisa sekarang langsung cabut dan ngikut mobil lo, tapi gue udah keburu janji sama Steven buat nunggu dia."

"Kayaknya ada apa-apa nih."

"Yeu, sok tau lo kulit sapi!" Raiska menjulurkan lidah ke arah Agam sebelum beralih menatapku. "Gimana, Ra? Lo berdua sama Agam doang emang nggak apa-apa?"

Agam mengangkat kedua alisnya. "Ya nggak apa-apa lah. Emang kenapa coba."

"Gam, plis. Gue tanya Mira ya, bukan lo."

Rrr ... Pilihan yang sangat sulit. Maunya pada saat itu aku ingin menjawab dengan lantang, Nggak apa-apa banget malah. Kalo bisa selamanya berdua sama Agam pun gue mau.

Tapi-tapi, aku nggak seberani itu. Dan nggak sepantes itu buat bersanding di sebelah Agam.

"Nggak apa-apa. Santai aja." Akhirnya, hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Raiska kemudian mangut-mangut dan Agam terlihat tersenyum sekilas.

Aku berdiri dari sofa dan keluar dari ruang Osis diikuti oleh Agam dan Raiska.

"Ayo ke lobi depan. Mobil gue udah di sana."

Aku tidak menjawab ajakan Agam. Malah aku bingung ke mana perginya tiga kantung kresek yang lain. Pasalnya, empat kantung kresek yang aku taruh tadi hanya sisa satu sekarang.

Agam tampaknya mengikuti pandanganku. Raiska pun begitu. "Yang lain udah gue bawa ke mobil, Mir," jelas Agam kepadaku.

"Gue kira ilang. Ya udah, ayo." Aku memegang kedua sisi kresek itu lalu berniat mendorongnya sampai lobi depan. Tapi, belum saja aku mulai mendorong, Agam tahu-tahu mengambil alih semuanya. Mengangkat dan memikul layaknya satu karung beras.

"Cewek nggak boleh bawa yang berat-berat," katanya lalu berjalan mendahuluiku.

Aku masih terdiam di sana. Berdiri dengan bingung.

Nggak. Nggak. Aku nggak terbang.

Aku masih berpijak di lantai. Tapi, di dalam dadaku tiba-tiba ada rasa hangat yang menjalar. Bukan seperti gemuruh yang tadi. Ini benar-benar hangat.

Tidak terlalu kentara namun seketika mampu menular ke area wajahku.

[]

Inilah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang