[09] Bakti Sosial

68 12 3
                                    

Hari itu sangat dinanti oleh semua pihak. Terutama yang terlibat dalam acara, karena acara bakti sosial pagi ini akan berlangsung.

Aku nggak sabar ngelihat wajah mereka (anak panti) bersinar-sinar. Di sini ada stan makanan yang bisa mereka nikmati secara cuma-cuma alias gratis. Ada juga stan baju yang bisa mereka ambil dengan suka rela.

Halaman panti yang lumayan luas juga terdapat panggung kecil berwarna abu abu yang akan digunakan untuk live acoustic persembahan semua panitia dan ada beberapa anak panti yang akan menunjukkan bakatnya di sana.

Ya intinya di acara ini, kami semua ingin membahagiakan mereka. Ingin berbagi dengan mereka. Berbaur dengan mereka.

Di acara ini semua ikut terlibat. Tidak hanya panitia saja. Ada undangan untuk siswa-siswi, guru-guru bahkan pegawai lainnya seperti satpam sampai pesuruh sekolah. Tapi, tetap ada batasan jamnya mengingat tempat yang digunakan juga tidak terlalu besar.

Stan di sini nggak semua gratis sih. Ada juga yang bayar tapi uang yang dibayarkan akan disumbangkan kembali untuk panti asuhan.

Aku melihat Agam di sana sedang berbicara dengan satpam sekolah kami. Dia memakai baju putih, sama dengan aku. Tidak hanya aku tetapi, semua panitia baksos mengenakan baju berwarna putih.

Saat aku akan berjalan ke Agam, ada segerombolan orang mungkin sekitar lima sampai enam orang yang sedang berdiri di depan meja absen.

Kemudian, mereka melangkah masuk. Aku berhenti melangkah saat Agam memerhatikan mereka. Sebelumnya, aku dan Agam sempat bertukar pandangan tetapi, hanya sebentar.

Lalu aku kembali berjalan ke Agam dan ternyata tiga orang di antara gerombolan itu tadi berjalan ke arah Agam juga.

Aku sampai lebih dahulu dan Agam sudah ada di sisihku. Dia masih memerhatikan mereka, sampai, satu orang di antara tiga itu menyapa Agam.

Percakapan mereka hanya sekadar formalitas belaka seperti menanyakan kabar dan sebagainya. Aku ingin beralih ke tempat lain, tetapi, tiba-tiba tangan Agam nangkring dengan santai di bahuku.

Aku terkejut. Bahkan aku menoleh ke arahnya seraya melotot. Agam tidak terusik, dia tetap melanjutkan percakapan yang sudah tidak aku pedulikan lagi tentang apa.

Pasalnya, Agam sudah keluar batas. Selama ini, Agam memang pernah memegang tanganku. Dan ya, aku biarkan. Karena kadang keadaannya terdesak. Seperti saat mengantri tiket bioskop di saat hari Sabtu, dan sebagainya.

Aku tidak bisa menerima perlakuan yang tidak seharusnya. Kami hanya berteman. Dan seorang teman yang lawan jenis tidak melakukan itu.

Mungkin di luaran sana ada yang seperti itu, dan mereka biasa saja. Mungkin.

Tetapi, aku tidak bisa biasa saja. Pasalnya, aku juga mempunyai perasaan yang harus dibatasi.

Tiga orang itu beralih. Aku tahu yang sejak tadi bicara dengan Agam adalah mantan dari Agam.

Tangan Agam sudah tidak di bahuku. Aku langsung memberi jarak dan berbicara tepat di hadapannya.

"Kalo lo mau move on, nggak perlu menunjukkan bahwa lo punya yang baru. Cukup lo biasa aja. Tenang. Anggap aja lo nggak sama sekali terusik dengan kehadirannya. Itu udah cukup, Gam."

Aku berhenti sejenak saat raut mukanya berubah. Dia heran. "Dan lo nggak perlu memanfaatkan dengan adanya gue. I'll help you, tapi dengan cara gue sendiri."

[]

Inilah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang