[11] Telepon

50 9 1
                                    

Tidak lama setelah itu, aku tertidur. Padahal aku tidak ada niat sama sekali untuk tidur meskipun mataku sangat ingin. Tetapi, mungkin saja aku terlalu lelah. Lelah fisik dan hati.

Aku terbangun dua jam kemudian dengan terpaksa. Ponselku terus bergetar tanpa henti karena ada telepon masuk. Tanganku meraba-raba mencoba mengambil ponsel, sedangkan mataku mencoba menyesuaikan dengan penerangan yang ada.

Tanpa melihat siapa namanya, panggilan itu aku jawab dan ponselku langsung ku tempelkan di telinga.

"Halo," kataku lebih dahulu dengan suara serak.

"Uhm," di seberang sana orang itu tampak meragu. "Mir, Mira."

Itu suara Agam! Demi apapun itu suara Agam!

Mataku langsung melek dengan sempurna. Lebih tepatnya aku melotot. Gila apa ya, baru beberapa jam berani banget Agam langsung telepon.

"Mir?" tanya nya lagi karena aku tidak bersuara. Bukan tidak mau, cuma aku bingung.

"Mir, gue ganggu nggak sih?"

Haduh! Pake ditanya.

"Mir?"

"--ha? Nggak kok."

Aku langsung merutuki dalam hati. Kenapa sih apa yang aku omongin nggak sesuai sama yang aku pikirin?

Lemah banget kamu, Mir sama Agam. Lemah. Banget.

"Gue minta maaaf bangett soal yang tadi. Sumpah, Mir, gue nggak ada maksud untuk memanfaatkan dengan adanya lo di sisi gue."

Aku diam saja. Tidak menyahuti apa yang ia katakan. Lagian bingung juga harus bilang apa.

"Gue ngerangkul lo di depan dia bener-bener reflek karena gue ingin dia tahu gue punya lo sekarang."

Apa? Apa? Agam waras atau tidak sih bilang begitu sama aku?

 Apa aku yang nggak waras?

"Gue nggak ngehubungin lo karena emang masih mikir. Bukan nggak mau. Cuma bener-bener mikir gimana ngomong sama lo."

Agam menghela napas sejenak. Kemudian ia berkata lagi, "Gue bisa aja sebenarnya nanti bilangnya. Waktu ketemu langsung. Maunya juga gitu karena lebih gentle. Tapi gue juga mau nanti, ke cafenya kita udah baikan. Biar lo bisa sama gue."

Kenapa Agam selalu punya cara sendiri buat aku luluh? Sumpah, ini nggak adil. Nggak baik juga buat aku kalo dengan gampangnya dia bisa menjungkir balikkan hatiku dalam sekejap. 

Tapi, ya, gimana?

"Mau kan mir?" tanyanya langsung dan aku mengiyakan.

[]

Inilah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang