Sekitar dua setengah tahun setelah kejadian itu (yang sebenernya aku juga nggak tahu tepatnya kapan karena nggak mau mengingat-ingat lagi), aku mencoba kembali menjalani hari-hari dengan biasa.
Lebih ikhlas menghadapi kenyatan kalau sekarang aku dan Agam tinggal di atap yang sama. Status yang berbeda tetapi bukan yang aku harapkan.
Aku sudah bisa mengontrol semuanya dengan baik.
Kalau dulu masih mikir kenapa dunia ini nggak adil, sekarang berbeda. Kalau dulu masih merasa bahwa aku adalah orang yang paling tersakiti dengan kenyataan, sekarang berbeda.
Pikiranku mulai terbuka. Kalau aku begitu terus juga tidak bisa merubah apa-apa yang sudah terjadi. Aku juga tidak bisa memaksakan hatinya Agam untuk aku seorang.
Kalau begitu, aku jahat namanya.
Hari demi hari, aku mencoba melupakan semua perasaanku kepada Agam. Karena nggak baik juga bagi aku, kalau perasaan ini hanya aku yang merasakan.
Oiya, beberapa jam sebelum Ibuku menikah dengan Ayahnya Agam (yang sekarang menjadi Ayahku juga), aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku.
Agam nggak terlihat terkejut. Dia malah terlihat gelisah. Bingung mau jawab apa. Sebelum ia repot-repot memikirkan apa kalimat yang tepat, aku buru-buru menyela.
"Nggak usah bilang apa-apa. Gue cuman pengin ngomong, Gam. Nggak berniat meminta balasan karena nggak mungkin," kataku dengan lugas meski sebenarnya hatiku nyeri saat berkata seperti itu.
Tanpa memberi kesempatan Agam berkata, aku langsung meninggalkannya sendiri.
Kenyataan memang nggak pernah selaras dengan keinginan.
Meski doa selalu dipanjatkan.
Kalau sudah ditakdirkan tidak bersama, mau diapakan?
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Inilah Kita
Short StoryKalau di pikir-pikir, nggak ada salahnya berbagi tentang masa SMA yang sudah dilewati. Katanya berbagi itu indah, bukan? Apalagi, konon katanya masa-masa SMA itu adalah yang paling mengesankan. Awalnya aku nggak percaya. Tapi, setelah bertemu denga...