Inilah Kita

[14] Sulit

"Gam, lo tahu ini semua?" tanyaku langsung tanpa basa-basi saat melihatnya duduk di koridor saat istirahat berlangsung.

Agam nampak kaget karena tiba-tiba ada aku muncul. Sejak tadi, ia hanya berkutat dengan ponselnya--sepertinya sedang bermain game, aku juga tidak mengerti dan tidak ingin tahu. Untuk sekarang, yang lebih penting hanyalah ini.

"Apa mir?"

"Ini. Ini semua lo udah tahu?"

"Semua apa sih? Gue nggak ngerti," elaknya tanpa menatap mataku saat berbicara.

"Nggak usah bohong, Gam," kataku dengan tegas. Kemudian ia membalas tatapanku. "Jadi, ini yang membuat lo berubah akhir-akhir ini?" tanyaku kembali dengan pertanyaan yang berbeda.

"Sulit, Mir," katanya sendu. Sorot matanya berubah pilu. Ponsel yang tadi di gengam kini beralih masuk ke saku.

Aku yang tadi hanya berdiri kini mulai duduk di sampingnya. Sepertinya, pembicaraan ini agak serius.

"Apanya yang sulit?" tanyaku dengan jujur. Karena aku benar-benar tidak mengerti dengan kalimat yang dilontarkan Agam.

Sulit menerima aku menjadi saudara tirinya atau sulit menerima ayahnya menikah atau apa? Aku tidak mengerti.

"Ini. Ini semua. Sulit," ucap Agam dengan penuh penekanan.

Aku semakin tidak mengerti. Bagian mana yang sulit?

Awalnya aku kira yang akan sulit adalah hubunganku dengan Agam karena dia sekarang sudah memiliki rasa denganku.

Tapi, ternyata?

Apa?

Agam hanya sulit menerima kalau ada yang menggantikan posisi Ibunya.

Hanya itu.

Bukan menjadi permasalahan antara hubunganku dengan Agam, karena ya, Agam menganggapku teman. Toh, itu berarti nggak ada salahnya kalau teman akan menjadi saudara.

Tapi, yang tidak masuk akal kenapa dia menjahui aku?

Katanya, yang sulit hanya hubungan keluarganya akan menjadi apa. Tapi, kenapa yang terkena dampak itu aku?

Kenapa, Gam?

Pertanyaan itu melayang-layang dan tidak pernah sampai kepada yang punya nama. Sampai, suatu kejadiaan di mana aku sudah mengikhlaskan semua, dan Agam kembali menghancurkan perasaanku.

[]