Kembali meminta izin, biarkan aku mengingat sejak kali pertama aku bertemu denganmu.
Sebelum rasa penasaran berubah menjadi nyaman lalu menjalar dengan cepat; timbulah cinta.
Sore itu, aku duduk di sebuah kelas yang sudah di sulap sedemikian rupa untuk mengadakan seleksi panita bakti sosial. Sebenernya tujuan seleksi ini hanya formalitas belaka, karena namanya juga bakti sosial masa yang mau berpartisipasi tidak boleh mengikuti?
Seleksi itu hanya antisipasi dari oknum-oknum yang tidak benar-benar serius. Maksudnya, dahulu, panitia bakti sosial hanya dicatat sementara. Dan ternyata ketika hari H, ada sebagian panitia yang tidak datang dengan berbagai alasan. Bahkan, yang paling banyak itu tidak memberi kabar. Seperti hilang ditelan bumi.
Jelas panitia inti yang lain kelimpungan karena kekurangan pasukan.
Akhirnya, sistem seleksi panitia diberlakukan agar melihat seberapa serius seseorang itu untuk mengikuti kegiatan bakti sosial.
Aku duduk di sebelah Reyhan, ketua Osis sekaligus ketua panitia di acara bakti sosial ini. Tujuanku duduk di sana hanya menemani Reyhan, karena sebenarnya bukan tugasku untuk ikut andil dalam penyeleksian ini. Tapi, berhubung sang wakil ketua osis berhalangan hadir, Reyhan memintaku langsung untuk menggantikannya.
Awalnya ku tolak karena tugasku dibagian penerimaan sumbangan bakal tercecer. Tapi, kata Reyhan, tidak apa-apa karena ini hanya sebentar.
Menit demi menit berlalu. Satu persatu orang yang berseragam sama denganku, keluar masuk ruangan ini secara bergantian. Sampai, tiba saatnya kamu yang berdiri di sana sambil menjawab pertanyaan dari salah satu panitia seleksi yang duduk searah bersamaku menghadapimu.
Ku kira saat kamu menyebutkan namamu, kamu adalah seorang adik kelas. Karena nama dan wajahmu sungguh tidak familiar. Tapi ternyata aku salah. Bahkan, kamu seangkatan denganku.
Ini aku yang kurang bergaul atau kamu yang tidak pernah nampak?
Dari awal kamu masuk, aku langsung memusatkan pandanganku. Karena sejujurnya, kamu terlihat cool dan aku penasaran siapa kamu. Terlebih lagi, pembawaanmu terlihat tenang dan santai. Tidak ada rasa gugup sama sekali.
Aku nggak munafik. Harus aku akui kalau kamu memang keren. Maksudku ... gayamu terlihat ya, keren saja. Aku bingung mendeskripsikan lebih lanjut bagaiamana kamu. Intinya, definisi keren versiku ada di kamu.
Dengan menjawab beberapa pertanyaan dengan tanggap, aku langsung berpikir bahwa kamu mungkin adalah salah satu orang yang dianggap pintar di kelasmu.
Ah, sangat jelas mulai saat itu aku tertarik padamu.
Lima menit kemudian, kamu sudah menghilang dari pandanganku. Digantikan oleh seorang perempuan berwajah oval.
Pertemuan pertama yang tidak bisa disebut pertemuan. Mungkin saja kamu melihatku hanya sepintas. Sebatas ketidaksengajaan melihat seorang perempuan yang duduk di sebelah ketua Osis tanpa berbuat apa-apa selain memandangi keindahan di depan mata.
Dan mungkin saja kamu terlalu risih karena aku terlalu kentara melihatmu dengan serius.
Saat kamu sudah menghilang, aku buru-buru merapalkan doa dalam hati. Berharap kalau di lain waktu aku bisa mengenalmu. Setidaknya, hanya sebatas saling kenal nama dan menjadi seorang teman.
Tidak bermaksud lebih karena memang ketertarikanku saat itu hanya sampai kata teman.
Harapan itu ternyata benar-benar terkabul. Tentu saja aku merasa bahagia. Namun aku melupakan sebuah fakta bahwa; ketika bahagia datang, kesedihan sudah menanti di depan sana.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Inilah Kita
Short StoryKalau di pikir-pikir, nggak ada salahnya berbagi tentang masa SMA yang sudah dilewati. Katanya berbagi itu indah, bukan? Apalagi, konon katanya masa-masa SMA itu adalah yang paling mengesankan. Awalnya aku nggak percaya. Tapi, setelah bertemu denga...