Malam ini akhirnya tiba juga. Aku mengiyakan ajakkan Ibu untuk bertemu calon Ayah baruku. Aku turut bahagia jika Ibu bahagia. Karena bagaimana pun, satu-satunya yang selalu membahagiakan ku adalah Ibu.
Jadi, nggak ada salahnya dong sekarang gantian aku yang membuat Ibu bahagia.
Jam yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah delapan kurang lima menit. Katanya, Ibu berjanjian jam setengah delapan tepat.
Karena aku dan Ibu yang datang duluan, maka yang memilih tempat duduk di Restoran Aurora adalah aku dan Ibu--lebih tepatnya aku yang memilih.
Tidak lama kemudian, seorang pria dengan kemeja biru langit datang. Ibu menyuruh aku menyalami pria itu. Dengan sopan aku menuruti. Entah senyumnya yang terlalu hangat atau bagaimana, bibirku pun ikut tersenyum saat melihat pria itu.
Makan malam itu berjalan lancar. Obrolan yang dipilih juga tidak terlalu terkesan dipaksakan. Aku merasa baik-baik saja dengan pria itu tetapi aku tetap merasakan ketakuan yang masih belum terjawab alasannya mengapa.
Seiring berjalannya waktu, pria itu menceritakan dirinya. Dia seorang arsitek, ternyata.
Aku mendengarnya sangat senang. Lebih tepatnya aku selalu senang dengan orang-orang yang bisa menggambar. Meskipun pekerjaan seorang arsitek tidak melulu soal gambar menggambar.
Ceritanya memasuki topik yang sangat sensitif, menurutku. Beliau juga bercerai dengan istrinya--sama seperti Ayah dan Ibukku. Entah alasannya apa menurutku itu terlalu privasi.
Beliau memiliki seorang anak. Seumuran denganku, katanya.
"Nak, Mira, kelas berapa?" katanya setelah meminum es teh manisnya.
"Mau naik kelas dua belas, Om."
Wajahnya terlihat sumringah. "Wah, sama seperti anak Om. Sekolah di mana?"
Kemudian aku menyebutkan nama sekolahku. Entah kebetulan dari mana lagi, anak beliau satu sekolah denganku. Dan entah mengapa, aku semakin takut.
Dengan ragu-ragu, untuk sepanjang malam ini, aku akhirnya bertanya dahulu. "Kalau boleh tahu, anak Om namanya siapa?"
"Agam. Agam Rajendra," katanya lugas, tegas, tanpa ragu.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Inilah Kita
Short StoryKalau di pikir-pikir, nggak ada salahnya berbagi tentang masa SMA yang sudah dilewati. Katanya berbagi itu indah, bukan? Apalagi, konon katanya masa-masa SMA itu adalah yang paling mengesankan. Awalnya aku nggak percaya. Tapi, setelah bertemu denga...