Thirteen

109 10 0
                                    

   "Selama Ayah di rawat, kamu tidur di rumah Sean, ya."pesan Sera ketika Sarah dan Sean pamit pulang. Sarah mengangguk. Tanpa dibilangpun dia pasti akan menginap di rumah Sarah. Daripada di rumahnya nanti ada apa-apa ketika dia sendirian.

   Sean sedikit cemas sekarang, mengingat di antara mereka tidak ada yang tahu apa yang terjadi di sekolah sejak mereka pergi.

   "Gue diskors."ucap Sarah yang menurunkan handphonenya dari telinga.

   Pernyataan Sarah barusan sukses membuat Sean terkejut, "serius? Tapi kan—,"

   "Gara-gara gue berantem."sela Sarah, menghela nafas, "Bang Nanta juga. Kasian banget, padahal dia mau tanding dua hari lagi."

   "Mikirin diri lo dulu, deh, baru orang lain,"gerutu Sean, sedikit marah, "kalau dia nggak nelepon lo, pasti lo nggak terlibat."

   "Jangan nyalahin dia."peringat Sarah, dingin dan tegas, membuat Sean sedikit terbata-bata ingin mengucapkan kalimat selanjutnya. Sarah menetralkan pernapasannya. Terlalu sesak bila mengingat kenangan yang kelam itu.

   "Lo beneran udah move on, kan, Sar?"pertanyaan Sean barusan membuat Sarah hening, tidak menjawab.

   Bahkan, dirinya sendiri pun tidak tahu jawabannya apa. Nanta, abang kelas yang dekat dengannya. Dia yang mendekati Sarah duluan, penasaran akan sosok yang sering dibicarakan teman-temannya. Tetapi, jauh dari itu, dua tahun sebelum hari itu, Sarah sudah menganguminya terlebih dahulu.

   Nanta Arvera, orang yang membantunya ketika kegelapan hampir di ambang, tinggal satu langkah untuk memasukinya.

   Sayangnya, dua bulan setelah Nanta mengenal Sarah, lelaki itu menembak seseorang. Siapa lagi kalau bukan Vina, si wakil ketua OSIS. Kepribadiannya jauh lebih baik dari Sarah yang sudah seperti kerak telor.

   Sejak itu, Sarah bertekad dan berbicara dengan tegas ke Sean, kalau dia harus move on dari yang namanya Nanta. Nyatanya, tidak mudah karena akhir-akhir ini dia sering bertemu dengan Nanta akibat permasalahan.

   "Lo nggak lupa, kan, kalau Nanta cuman nganggap lo sebagai kakak-adik? Dia ngelindungin lo cuman sebatas adik kelas."

   Tentu, Sarah mengingat hal-hal itu.

   "Bodo. Gue nggak tau."balas Sarah, melemparkan pandangannya ke arah jendela. Dia tidak ingin Sean membaca matanya dan mengetahui semua pikirannya.

   Seberharga apapun Sean dihidupnya, Sarah tetap membutuhkan privasi.

****

   Entah kenapa, malam ini ia lesu sekali. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain uring-uringan di atas kasur. Sean ada di kamarnya, entah apa yang dilakukannya.

   Drrt... drrtt...

   Sarah mengambil handphonenya di atas meja. Kedua matanya terbelalak melihat siapa yang meneleponnya. Video call pula.

   Nanta.

   Refleks, gadis itu mematikan panggilan itu. Tidak biasanya Nanta meneleponnya saat malam begini, video call pula.

   Beberapa menit kemudian, panggilan masuk dari Nanta. Dengan ragu, Sarah meletakkan handphonenya di depan telinga kanannya.

   "Kenapa nggak diangkat video call-nya?"tanya Nanta di seberang sana.

   "Muka gue lagi buluk, bang, hehe..."cengir Sarah, mencairkan suasana. Lagipula, sekalipun itu Sean, dia tidak akan menerima panggilan face-to-face itu. Memalukan.

   "Ya elah, biasanya juga nggak peduli.Kayak gue nggak tau elo aja sih."balas Nanta yang juga disertai kekehan ringannya.

   Astaga, segampang itu membuat Sarah baper.

   "Kenapa nelepon, bang? Mood gue lagi down, gegara skors."ujar Sarah seraya tiduran di atas kasurnya, menatap langit-langit kamar.

  "Lah, sama dong. Nyokap gue bawel mulu, nih."

   "Bersyukur aja deh, Bang."

   Terdengar tawa di seberang sana, "nah, itu. Jadi gue diem aja, eh, malah dibilang nggak dengerin. Gue bales ucapannya, malah dibilang nyolot. Bodo ah."

   Sarah ikut tertawa mendengarnya, "biasalah, ibu-ibu."

   "Udah ye bang. Ntar Vina marah lagi, lo nelepon malem-malem gini."canda Sarah yang memang niatnya bercanda, tetapi malah disambut diam dengan seberang sana.

   "Ya udah. Btw gue nggak sama Vina lagi."

   Sarah tertegun. Putus?

   "Udah ya, Sar. Kalo bosan, besok keliling Jakarta, yuk, sama gue."

   Sambungan terputus. Handphonenya terlepas dari tangan, mendarat mulus di atas kasur. Kedua matanya mengerjap-ngerjap, menyakinkan sesuatu. Nyata. Kalimat itu benar-benar masih terngiang di kepalanya.

   "Wah, nggak biasanya seorang Sarah Arnolda hanya berdiam diri di kamar."suara Sean menghiasi keheningan kamar ini. Sarah loncat dari kasur dan memeluk Sean, membuat laki-laki itu terdorong ke belakang, hampir jatuh.

   "E...e... lo.. ngapain?"ucap Sean terbata-bata.

   Sarah mengedahkan kepalanya, menatap wajah Sean dari bawah. Ia tersenyum lebar dan wajah Sean tidak terlukis apa-apa selain kebingungan.

   "Bang Nanta ngajak gue jalan, Se!"

   Ucapan itu seakan membuat Sean membatu. Dirinya tidak tahu harus berbuat apa. Di sisi lain, dirinya ikut senang. Memang, seharusnya dia bahagia, melihat gadis itu mengatakannya dengan riang. Nyatanya, di sisi sisanya, dirinya tidak merasakan atmosfer apa-apa. Kosong.

   Sarah merengut begitu beberapa saat Sean tidak menggubris ucapannya. Ia melepas pelukannya dan berkacak pinggang, "Lo yakin nggak mau berkomentar, uh?"ucap Sarah, kesal.

   "Gue harus berkomentar apa?"balas Sean, jutek, "apa yang harus dikomentarin buat orang yang jalan-jalan sama cowok yang udah punya pacar? Sadar diri kenapa, Sar?"

   Lebih baik tidak peduli, mungkin.

   Gadis itu menggerakkan telunjuknya di depan wajah Sean, "no, no. Gue bukan cewek sejenis itu, tau."

   Ketika Sarah mendekatkan wajahnya ke telinga Sean, dirinya merasakan ada aura yang tidak mengenakkan setelah ini.

   "Bang Nanta lagi jomblo, Se."

   Firasat itu seratus persen benar.

****

ETS 03-When We Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang