Twenty

107 11 0
                                    

   "Makasih Nan."

   Lelaki itu memasang helmnya dan membuka tutup plastiknya untuk memperlihatkan senyumnya ke Sarah, "duluan, Sar. Sampai ketemu di sekolah, ya?"

   Sarah mengangguk, lalu berdada ria sebelum masuk ke rumah. Sedikit mengintip rumah sebelah. Sunyi, seperti biasa.

   Ia meng-charge handphonenya yang minta diisi. Lalu ia turun ke dapur dan menegak segelas air.

   "Bareng Nanta lagi?"

   Suara Sera hampir saja membuatnya tersedak.

   "Habis makan. Ditraktir Nanta."jawab Sarah seraya menunjukkan cengiran. Ia suka gratisan.

   Sera duduk dihadapan Sarah, menatap anaknya yang sedang mengunyah tempe yang ia masak tadi.

   "Ibu mau ngomong apa?"seperti diduga, Sarah selalu tahu gerak-gerik Sera.

   "Sean ada ngasih tau kamu sesuatu, nggak?"pertanyaan Sera mendapat gelengan dari anaknya, membuatnya sedikit cemas. Sementara Sarah masih menikmati tempe goreng.

   Apa yang perlu dikhawatirkan dari Sean?

   "Tadi ibu liat ada orang asing masuk ke rumah sebelah, sama tuan rumah,"ucap Sera mengingat kejadian tadi siang, "belum jam pulang sekolah. Sekitar jam satu."

   Perkataan itu sukses membuat Sarah menatap ibunya, serius.

   "Coba deh ke sebelah. Takutnya Sean—,"

   Tanpa Sera bilang pun Sarah akan pergi ke sebelah secepat bayangan.

   Rumah itu tidak terkunci dan semua lampu padam begitu Sarah tiba di sana.

   Ia melangkah perlahan dan menghidupi satu persatu lampu. Melihat lantai yang berdebu dapat disimpulkan Sarah kalau Bi Yah tidak ada di rumah ini.

   Dari luarpun kelihatan tidak ada sinar lampu yang keluar dari kamar Sean.

   Dan pintunya tidak terkunci.

   Sarah meraba dingin, mencari ketikan lampu. Begitu lampu dinyalakan, semuanya berantakkan. Persis beberapa hari yang lalu ketika Sarah menemukan Sean tengah meringkuk di pojok ruangan.

   Hari ini, ia melihat Sean berbaring di lantai dengan kedua tangan melingkar di sepasang kakinya.

   "Astaghfirullah, Se!"

   Sarah menggoyangkan badan Sean, lelaki itu tidak kunjung membuka mata. Wajahnya pucat. Bibirnya hampir tak menampakkan warna bibir yang sebenarnya. Dahinya basah dan tubuhnya sedikit gemetar.

   Sarah membantu Sean duduk dengan menyenderkan tubuhnya ke ranjang. Gadis itu benar-benar cemas. Takut masa lalu terulang lagi. Kejadian tiga tahun yang lalu, di saat Hani, Mama Sean, meninggal.

   Ia takut kehilangan Sean.

   Ia takut karena belum menentukan sebuah pilihan.

   "Please, lo kenapa..."ringis Sarah. Kepalanya menunduk. Air matanya jatuh, begitu saja. Semudah itu, hanya karena Sean.

   Bibir Sean yang pucat itu bergerak, mengeluarkan beberapa kata.

   "Se—an se—dih.."nada itu, Sarah ingat, hanya Sean yang bisa melakukannya. Dulu ketika mereka masih duduk di sekolah dasar. Ketika Sean kena marah Bu Guru karena tidak bisa berhitung. Atau Hani yang memarahinya karena tidak shalat subuh.

   Yang Sarah lakukan adalah merengkuh tubuh itu ke pelukannya.

   "Sean kenapa, sih. Jangan mati, nanti Sarah sendiri..."

ETS 03-When We Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang