Twenty Three

107 11 0
                                    

   Hal yang paling dianti-kan oleh seorang Sean Matthew ketika punya pacar. Menunggu cewek belanja. Menguras tenaga.

   "Gue kan nggak minta loh, Se. Lo yang maksa."gumam Fika seraya melihat-lihat baju yang bergantungan.

   Sean berdehem. Alasannya bukan beneran mau nemenin Fika belanja untuk ulang tahun nyokapnya. Ia hanya tidak ingin mengingat gadis itu ketika berdiam diri di rumah.

   Dan segala cerita yang bersangkutan dengannya.

   Laki-laki itu duduk di salah satu kursi dan membiarkan Fika memilih sendiri baju yang dia sukai. Lagian Sean tidak memiliki selera mode untuk perempuan. Terlalu ribet.

   Sama seperti tetangga sebelah yang hanya tau sweater dan jeans saja.

   Astaga, Sean, kan mau melupakannya.

   Sudah seminggu dan Sean berlagak seperti pengecut. Berlari dengan kekecewaan. Memutuskan dengan rasa sakit. Memulai dengan beban yang masih ada.

   Seperti itu dia lari dari Sarah yang menolak perasaannya.

   Tidak. Lo yang melarikan diri.

   Bahkan hati Sean bertolak belakang dengan keinginannya.

   Handphonenya berdering. Ia mengambil handphone di saku sweater-nya dan mengernyit dahi begitu melihat display name.

   Enemy.

   Laki-laki itu hanya menatap layar handphone hingga panggilan itu terputus, tanpa mengangkatnya. Sampai panggilan ketiga. Hanya ditatapnya nanar.

   "Dari Sarah? Kenapa nggak diangkat?"Fika muncul entah darimana. Tangannya menggenggam kantong belanjaan.

   Fika tahu siapa itu Enemy. Nama nomor telepon Sarah yang jika gadis itu membuat Sean kesal, laki-laki itu akan mengganti display name-nya. Menyebalkan.

   Sean diam. Seperti tidak mendengar Fika.

   "Lagi berantem sama Sarah?"

   Kita pisah. Milih jalan masing-masing.

   "Enggak. Ayo pulang."ajak Sean yang tidak ingin Fika membicarakan perempuan itu. Ia tahu tabiat Fika. Ia akan menanyakannya hingga mendapat jawaban.

   Tapi kali ini, Fika tidak bertanya lebih lanjut.

   Sekali lagi, notification line nyangkut di handphone Sean.

  Enemy

   Sarah masuk rumah sakit. Gue Nanta.

   Dan saat itu juga, Sean tidak memedulikan apapun. Yang dipikirannya hanyalah ia harus sampai di rumah sakit secepat mungkin.

   Melihat Sean meninggalkannya, Fika menyunggingkan senyum.

   Dugaannya dulu pun tepat.

   Sean itu menyukai Sarah. Bukan dirinya.

****

   Nanta mengirim alamat rumah sakit ke Sean melalui handphone Sarah. Sean tiba, lebih cepat yang diduga Nanta. Ia yang tengah duduk di ruang tunggu di depan IGD, segera berdiri melihat Sean yang datang dengan wajah penuh keringat.

   Bugh.

   Satu pukulan Sean membuat Nanta terjatuh ke lantai.

   Laki-laki itu menarik kerah seragam Nanta hingga Nanta kesulitan menelan ludahnya sendiri.

   "Lo nggak bisa jaga dia baik-baik ya?!"seru Sean dengan wajah yang belum pernah dilihat Nanta.

   Seperti bukan Sean.

   "Sar—ah dike—royok..."

   Tangannya otomatis melepas kerah seragam laki-laki yang dihadapannya. Kedua matanya berubah. Yang tadinya menyalang menjadi agak teduh. Tetapi tetap mengerikan.

   "Dikeroyok?"

   Nanta mengangguk, berusaha menjelaskan, "preman yang dulu itu, balas dendam. Lima orang ngegebukin Sarah pake kayu. Gue dikasih tahu temen gue yang ngeliat. Pas gue sampai di belakang pos, Sarah udah nggak sadar."

   Tubuh itu melemas, hingga terduduk di lantai. Bersama laki-laki yang ditinjunya.

   "Feeling?"gumam Sean mengingat tadi siang dia mementingkan ego-nya sendiri. Menolak permintaan perempuan itu untuk mengantarnya pulang. Akhirnya seperti ini. Bukan salah Nanta sebagai pacar Sarah. Bukan salah Sarah yang mencari gara-gara duluan.

   Gara-gara dia yang tidak bisa melawan takdir.

   Sebab dia yang masih kecewa atas realita.

   Tidak lama kemudian, seorang dokter yang dibelakangnya diikuti dua orang suster keluar dari ruang IGD, membuat kedua orang itu bangkit dan bertanya penuh harap.

   Dokter menggeleng dan mengatakan dua kata yang membuat dunia Sean runtuh.

   "Dia koma."

****

   Sera dan Tian sudah tiba melihat anaknya yang sudah dipindahkan ke ruang ICU. Nanta yang memutuskan menelepon kedua orang tua Sarah karena Sean selalu termenung, tidak bergeming. Ia tahu, laki-laki itu lebih syok daripada dirinya.

   Tetapi setidaknya dia tahu, Sarah tidak salah menyukai orang sepertinya.

   Sean menutup matanya erat ketika mendengar Sera yang menangis histeris di dalam dan suara kecil Tian yang menenangkan istrinya itu. Dia tidak punya keberanian untuk menghadapi kenyataan ini. Sahabatnya koma. Kedua orang yang dianggapnya orang tua menangis.

   Dia pengecut.

   "Sampai kapan lo nggak terima realita, Se?"

   Suara Nanta menghiasi pendengaran Sean. Ia pun merasakan Nanta duduk di kursi dekat tempatnya duduk.

   "Gue nggak pernah jadian sama Sarah."

   Sean tetap menutup mata walaupun tetap mendengarkan.

   "Dia nggak mau. Tapi dia mau jadi teman gue,"suara Nanta terdengar parau, "sebaik itu Sarah. Gue nggak nyangka."

   "Hanya demi perasaan sahabatnya, dia ngerelain cinta pertamanya."

   Lo jahat, Sar.

   "Gue berpikir kayak gitu ke dia. Kenapa bisa ada manusia sebaik itu? Dia bukan manusia. Gue yakin itu."

   Sarah memang berbeda dari manusia kebanyakan. Di mata Sean, memilik Sarah itu seperti imajinasinya. Tidak nyata. Semu.

   Seperti bayangan yang akan hilang ketika kegelapan tiba.

   "Nyatanya salah. Dia bukan ngerelain gue. Tapi dia sadar,"

   "Kalau dia suka sama sahabatnya dan ingin membalas perasaan orang itu."

   Gadis itu bahkan ingin terlihat nyata di mata Sean.

   Sean memberanikan membuka kedua matanya. Melihat dinding putih polos dihadapannya. Mengingat kejadian-kejadian tidak lama ini. Berangsur cepat tanpa terasa.

   Sarah juga menyukainya dan Sean mengetahuinya dari cinta pertama gadis itu.

   Miris sekali kisah cinta pertama klise seorang Sean Matthew.

   "Beberapa hari ini Sarah berubah. Nggak aktif seperti biasanya. Wajahnya pucat."ujar Nanta seraya melirik dari kaca. Ia tahu wajah damai itu tengah berbaring di dalam sana walaupun kaca buram menghalangi pandangannya.

   Saat itu setetes air mata jatuh ke bajunya.

   Dua tetes.

   Tiga tetes.

   Dan tetesan-tetesan selanjutnya.

   Baru kali ini Sean menangis untuk seseorang selain Mama-nya.

   "Sean."

   Suara bariton itu membuat Sean mengedahkan pandangannya. Dengan pipi basah akibat air mata, ia melihat wajah itu walau penglihatannya sedikit kabur.

   Papa.

****

ETS 03-When We Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang