Fifteen

123 10 1
                                    

   Sedari tadi Sean mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Mendapati Sarah tidak ada di rumah tanpa pemberitahuan apapun membuatnya sedikit cemas. Bukannya apa, orang tua gadis itu menyuruhnya untuk menemani Sarah selama Tian dirawat, kemungkinan lusa baru boleh pulang ke rumah. Bagaimana jika Sera tiba-tiba datang ke rumahnya dan mendapati Sarah tidak ada di rumah? Lagipula, gadis itu tidak diizinkan pergi keluar dengan teman-temannya tanpa ada Sean yang menemaninya.

   Bunyi motor di halaman membuat Sean segera membuka pintu dan melihat ke luar. Di sana ada Sarah dan... seseorang yang mengenakan helm. Sean menyipitkan kedua matanya dan menyadari seseorang itu.

   "Bang... Nanta?"

   Lelaki itu membuka kaca helmnya dan melihat siapa yang menegurnya, "loh, Sean? Ah, gue lupa kalau rumah kalian sebelahan."

   "Gue... masuk duluan, Bang. Makasih ye."ucap Sarah yang membuat Sean sedikit bertanya-tanya. Tidak seperti biasanya.

   Nanta mengerlingkan sebelah matanya, "jangan lupa yang tadi, ya."

   Sial. Membuat Sean penasaran saja.

   Setelah Nanta tidak tampak dari kedua matanya, Sean langsung menyusul Sarah ke dalam rumahnya.

   "Lo apaan sih? Sakit!"seru Sarah dengan cengkraman kuat Sean yang tiba-tiba.

   "Kenapa lo jalan sama Sean tapi nggak bilang gue dulu?"tanya Sean dengan aura wajah yang tajam, membuat Sarah sedikit takut.

   "Ya... tadi kan lo—,"

   "Lo ada handphone. Bisa line, minimal."

   Sarah menyentakkan cengkraman itu dan lepas, "terus kenapa kalau gue nggak ngabarin lo? Lo mau ikut jalan juga sama Nanta?"

   Wajah Sean berubah menjadi datar, "Nan... ta?"

   "Iya, gue panggil dia nama sekarang. Dia yang nyuruh."ucap Sarah seraya meletakkan handphonenya di atas kasur. Lelah.

   Bukankah itu berarti...?

   Sarah menghela nafas dan terduduk di atas kasur, "kali pertama gue suka sama seseorang dan juga, pertama kalinya gue jalan sama cowok yang gue suka. Sama-sama menyenangkan, tapi berbeda. Tadi terasa sedikit spesial, mungkin."

   "Lo suka sama dia?"

   Jawaban Sarah membuat hatinya sedikit takut.

   "Kayaknya, iya."

   Takut akan kehilangan sosok sahabatnya.

****

   Malam itu, Sean tidak bisa tertidur, bahkan lima menitpun. Keesokan harinya, dia hanya mengintip sedikit kamar Sarah sebelum berangkat sekolah. Lihatlah. Gadis itu tertidur pulas sementara dia tidak bisa tidur dengan ucapannya tadi malam.

   Di perjalanan menuju sekolah, Sean tidak henti-hentinya membunyikan klakson. Dia menjadi sensitif terhadap hal-hal kecil, seperti ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah atau angsa yang melintas di depan mobilnya.

   Ia bahkan tidak memperdulikan adik-adik kelasnya yang sering menyapanya dan tentunya dia akan membalas. Kedua tangannya diletakkan di saku celana, kedua matanya menyipit sinis, dan kulit wajahnya dikerut.

   Semua orang di sekolah ini baru pertama kali melihat wajah Sean sekusut itu.

   "Se, Sarah ada di rumah lo, ya?"suara Fika terdengar ketika Sean baru saja duduk di kursinya.

   Sean malah memainkan handphonenya, "hm."

   "Wajah lo kusut amat, kenapa?"tanya Fika, heran, "pasti ulah Sarah, ya? Maklumi aja kali Se."

   "Pagi-pagi udah merengut aja."ah, itu suara Yuta. Sean mengedahkan pandangannya dan dihadapannya sudah ada Yuta, Fika, dan Angga.

   "Kenapa ngerubungin gue?"tanya Sean gusar.

   "Karena kelas gue di sini."jawab Yuta anteng.

   "Karena bangku gue di sebelah lo."sambung Angga lagi.

   "Karena cuma lo yang tau kabar Sarah."ujar Fika ikut-ikutan menjawab, "gue balik ke kelas dulu, ya. Sepi banget kelas nggak ada tuh anak."

   Sean mengangguk pelan, "kalau mau ketemu Sarah, ke rumah aja."

   Fika tersenyum, "tenang aja."

   Setelah Fika pergi, Yuta menjadikan omongan tadi menjadi bual-bualan untuk menggoda Sean.

   "Wah, udah main rumah aja."ujar Yuta yang mendapat tatapan sinis dari Sean yang mungkin sedang mengalami pubertas.

****

   Baru saja Sean mengucapkan salam dan memasuki rumah, dia sudah mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Sarah yang raut wajahnya sudah seperti banteng yang melihat warna merah.

   "Lo abis ketiban apa sih?"seru Sean yang mendadak merasa sakit di bagian bahu kanannya.

   Sarah yang sepertinya tidak puas dengan apa yang dilakukannya, "lo yang ketiban apa! Ngapain coba pake ngunci segala pintu? Gue pulang gimana, hah!"

   "Ini rumah gue, ya terserah gue lah!"

   "Bodo bodo! Yang pasti lo ngelanggar HAM gue!"

   Sean mendadak sewot, "ya udah, lapor aja ke polisi. Kayak lo pinter aja!"

   Sarah menatap lelaki itu sinis sebelum ia memukul kepalanya, "kurang asem banget lo emang."

   Sean mengangkat sudut bibirnya ke bawah, lalu melempar tasnya ke sofa di ruang TV. Ia menyenderkan punggungnya di sofa yang empuk. Sinar matahari di luar sana membuat suasana hatinya sedikit kacau. Di tambah lagi Sarah yang tiba-tiba menghajarnya yang membuat perasaannya semakin buruk.

   "Ada masalah di sekolah?"

   Sean menggeleng setelah Sarah duduk dan menanyakan hal itu, "nggak pa-pa."

   Sarah memanggut-manggut, paham. Sepertinya lelaki itu memang ada privasi sendiri.

   "Jauhi Nanta, Sar."

   Kalimat datar itu sukses membuat Sarah menatap Sean dengan tatapan heran.

   "Sejak kapan lo ikut campur di dalam hidup gue?"

   Dan kalimat sinis itu sukses membuat Sean, pertama kalinya, menatap sepasang mata cokelat milik Sarah dengan perasaan kosong.

   "Lo terlalu buta dengan perasaan."ucapan itu membuat Sarah menghela napas dengan kasar.

   "Wah, bener-bener,"seru Sarah seraya menunjuk-nunjuk wajah Sean, "gue nggak tau maksud lo apaan. Yang ada gue suka sama Nanta terus lo nyerocos bilang gue nggak boleh deket-deket sama dia. Lo kira sehebat apa sampai-sampai tau 'banget' tentang dia?"

   "Gue tau apa yang lo nggak tau."sergah Sean membuat Sarah semakin tidak puas.

   "Gue lebih kenal lo dibanding diri lo sendiri."

   Sean memegang kedua bahu Sarah erat, "please, dengerin gue sekali ini aja.."

   Sarah membuang muka dan melepaskan dirinya dari genggaman Sean, "Nggak."

   "Aish!"seru Sean yang sudah tidak bisa menahan amarahnya. Gadis itu membuat amarahnya meluap.

   "Kenapa pake—,"

   "Lo kira gue siap kalau lo jadian sama dia? Lo mau gue main PS sendiri di rumah? Lo pengen gue main monopoli sendirian? Lo mau gue makan sendirian? Lo mau gue bacot sendirian?"ucapan Sean sukses membuat Sarah mengerjapkan beberapa kalinya. Seketika atmosfer di sekitar mereka menjadi dingin. Sarah menduduk, merasa tidak enak.

    "Kalau mereka udah balik, pulanglah."ucap Sean sebelum ia meninggalkan Sarah di ruang TV dan memasuki kamar, lalu menguncinya.

   Lagi-lagi Sarah merasa telah melanggar janjinya yang sudah terikat sejak sepuluh tahun yang lalu.

****

ETS 03-When We Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang