Fourteen

108 11 0
                                    

Sean mondar-mandir sedaritadi. Dia masih tidak menyangka dengan pembicaraan tadi malam. Hal itu terus memenuhi pikirannya hingga sekarang. Kantung matanya terlihat lebar, mengingat malam tadi dia tidur kurang nyenyak.

   Setengah jam lagi bel masuk akan berbunyi. Namun, lelaki itu tetap berkutat di kamarnya dengan seragam yang rapi dan tas yang tertenteng di punggungnya. Ia masih mengkhawatirkan gadis itu yang mungkin dia tidak sadar kalau sedang ada dikondisi yang harus dikhawatirkan.

   Ia berjalan menuju pintu kamar yang ditidurkan Sarah. Setelah berdehem beberapa kali, ia mencoba mengetuk pintu itu dengan penuh keberanian. Dia takut, kelakuannya ini sama dengan membangunkan singa yang tertidur pulas.

   "Sar, gue berangkat ya. Kalau mau makan, go-jek aja, Mbak Yah pulkam. Terus pintunya dikunci, ntar ada maling."teriak Sean dari luar.

   Terdengar suara parau dari dalam, "kunci dari luar aja! Gue mau tidur sampe sore!"

   "Dasar kebo."desis Sean, berjalan menuju pintu dan mengunci pintunya dari luar. Toh, kalau Sarah mau keluar, ada pintu belakang.

   Sean menyetir mobilnya, menyusuri jalan raya. Jam segini memang rawan macet. Tentunya, dia memilih jalan tikus untuk menghindari keterlambatan.

    Kedua matanya menjelit begitu melihat seseorang yang tengah berdiri di trotoar. Sean mengerem mobilnya, lalu menyipitkan kedua matanya, memastikan kalau itu adalah orang yang dikenalnya.

   "Fika?"gumam Sean. Salah satu kakinya menginjak pedal rem dan tangan kanannya memencet tombol, menurunkan jendela.

   "Sean?"Memang Fika rupanya.

   "Ngapain masih di sini? Bentar lagi bel."ujar Sean heran.

   Fika memperlihat cengiran sumringah khasnya, membuat Sean sedikit kikuk, "ban mobil ayah bocor. Jadi tadi baru diderek. Ini mau nyari ojek."

   "Ya udah, bareng aja. Ojek, mah masih molor jam segini."tawar Sean tanpa basa-basi.

   "Beneran boleh nih?"pertanyaan Fika mendapat anggukan Sean. Lelaki itu membuka pintu sebelahnya dari dalam. Setelah Fika duduk, Sean menginjak pedal gas dengan perlahan.

   "Makasih banyak, Se."ucap Fika, terdengar tulus di telinga Sean.

   Laki-laki itu seperti tidak peduli, "namanya teman, kan saling bantu. Selo aja kali."

   "Teman banget ya, Se."kekeh Fika, menurutnya lucu.

   Namun, entah kenapa, bagi Sean, itu terdengar seperti sebuah sindiran.

****

   Sarah berlari kecil-kecilan di rumahnya. Kalau saja Nanta tidak serius dengan ucapannya tadi malam, dia tidak perlu ke rumahnya dan tertidur pulas hingga Sean pulang sekolah dan membangunkannya. Kalau saja bukan seorang 'Nanta', dia hanya perlu minjam kaos dan celana setiang Sean daripada repot-repot mengenakan pakaian yang sedikit kecewekkan.

   Nyatanya, ini adalah seorang Nanta.

   Sangat jauh dari kata feminin, Sarah hanya mengenakan sweater dan celana panjang. Rambutnya dicepol, menyisakan sedikit poni yang sengaja digerai. Kali ini, hanya hari ini, ia mengoleskan bedak dan menggunakan sedikit lipbalm yang pernah dibelikan Sera untuknya, sekitar setahun yang lalu. Padahal, ketika tantenya menikah, Sarah tidak memakai makeup apapun. Hanya keringat yang membuat mukanya glowing natural.

   Ia menyimpan handphone dan beberapa lembar uang di saku celananya. Terdengar klakson dari depan rumah. Tidak lupa mengunci rumah, Sarah berlari kecil ke arah Nanta yang sudah siaga dengan motor vario kesayangannya.

ETS 03-When We Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang