Eighteen

114 13 0
                                    

Perempuan sangat menyukai hal-hal kecil.

Kepalanya menggeleng. Sarah bukan spesies semacam itu. Dia aneh.

Sean menutup laptopnya dengan kasar. Tangan kanannya mengurut keningnya yang mulai nyeri. Sudah sejam dia browsing. Selama itu pula tidak membuahkan hasil.

Seketika hatinya ragu dengan tantangan Nanta.

Sarah sudah menganggapnya sebagai adik. Sera dan Tian pun menganggapnya anak. Kalau mereka tahu Sean menyukai Sarah untuk sekedar memenangkan tantangan, lantas, apa jadinya?

Dalam beberapa menit, Sean menyesal karena menerima dare itu.

Dia sering menggenggam tangan atau merangkul pundak Sarah, hal biasa yang dilakukannya ke cewek-cewek di sekolah dan hal itu membuat mereka berteriak kesenangan. Bahkan tidak jarang mereka menggunakan hal itu sebagai gosip. Misalnya, kalau Sean sedang PDKT dengannya.

Tetapi, percayalah, Sarah terlalu berbeda dari yang lain.

Seanpun sedikit ragu kalau gadis itu tidak menyukai lawan jenis. Namun ia membuang pikiran itu ketika mengingat Sarah bercerita tentang perasaannya ke Nanta.

Impossible.

Lelaki itu heran, kenapa Sarah bisa suka Nanta? Cowok itu, dibanding dirinya, tidak ada apa-apa. Bukan tipe anak sekarang. Terlalu nakal dan tidak tampan.

"HALO MY LITTLE BROTHA!"

Teriakan itu sukses membuat Sean hampir terjengkang dari kursinya.

"Anjir, ngagetin ae."gerutu Sean seraya memutar kursinya menghadap gadis itu, Sarah.

Hari ini ia mengenakan kaos lengan pendek bertuliskan Bandung van Java dan celana selutut. Rambutnya dicepol, menyisakan anak-anak rambut yang bebas disekitaran dahi.

"Lo pake liptint?"

Sarah yang sedaritadi mengunyah permen karet, mengerutkan dahinya, "he.. apaan? Lip apa?"

Astaga, kenapa Sean berpikiran kalau Sarah menggunakan barang semacam itu? Mengoles bedak saja malas.

"Enggak,"sergah Sean, mengembalikan situasi, "bibir lo merah banget, sumpah. Atau mata gue katarak?"

Gadis itu berusaha melihatnya dengan memaju-majukan bibir.

"Gue abis minum fanta. Ayah beli se-dus."jawab Sarah yang mendapat oh-an dari Sean. Ia pun baru ingat sempat meminum itu tadi.

Drrt.. drrttt...

Handphone Sean berbunyi.

"Bunyi, tuh."ucap Sarah, memberitahu. Ia merebahkan diri di kasur Sean yang empuk dan nyaman ini. Entah kenapa, kamar ini membuatnya betah di sini.

Mungkin efek dari kamarnya yang penuh bungkus chiki.

Sean mengambil handphonenya. Raut wajahnya seketika berubah. Dengan cepat, ia meletakkan handphonenya di atas meja, lalu pergi ke kamar mandi.

Iseng, Sarah mencuri-curi pandangan ke handphone Sean. Penasaran dengan apa yang terjadi.

Satu notification yang baru masuk membuat gadis itu tahu akar dari permasalahannya.

Sean keluar dari kamar mandi dengan kepala yang basah. Sarah sedang memainkan handphonenya di atas kasur lelaki itu. Sean menghela nafas, lalu duduk di kursi lagi dan memejamkan kedua matanya.

"Ke Ancol yuk, Se."

Ajakan itu membuat Sean menggeleng pelan, "percuma, kalau rame-rame."

ETS 03-When We Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang