6

60 8 0
                                    

Ujian terbesar keberanian di bumi adalah untuk menanggung kekalahan tanpa kehilangan hati.

***

"Semalam kemana kamu?" Ucap papah dingin.

Sekarang gue lagi menghadap papah karena semalam gue gak pulang ke rumah. Gue tau papah pasti marah kalau gue gak pulang ke rumah ini, tapi bagaimanapun sekali - kali harus mencari udara segar di luar rumah walaupun resikonya kena marah.

"Bukan urusan papah." Gue bukannya gak mau bilang kalau gue semalam ke apartemen kak Kev, tapi gue takut kak Kevin ikut dimarahin papah. Gue harus menanggung semua resiko sendiri.

"Berhenti berlaku seenaknya, Natasha. Semakin lama kamu makin jadi anak yang tidak punya sopan santun." Ucap papah gue dengan nada tinggi.

"Bukan urusan papah." Ucap gue lagi.

"Papah tidak pernah meng-"

"Mengajarkan Natasha untuk jadi anak yang ga tau sopan santun. Pah, Natasha bosen dengernya. Natasha berada di rumah ini juga karena paksaan papah. Di sini juga Natasha ga bahagia pah. Natasha cuma mau semalam aja mencari kebahagiaan yang ga bisa Natasha dapat dari semua yang ada di rumah ini." Ucap gue memotong ucapan papah dengan emosi yang tertahan

Au... Dengan tangan sebelah kanannya, papah nampar gue. Pipi kanan gue memanas seketika merasakan tamparan papah yang lumayan keras.

"Jangan jadi anak kurang ajar kamu. Papah udah pusing ngurusin mamah kamu yang gak bangun – bangun itu, nyusahin. Uang saya jadi kepakai sia – sia dan sekarang kamu semakin berani kurang ajar."

Gue gak nyangka papah akan ngomong sejahat itu. Tangan gue mengepal.

"Jadi, mau papah kaya gimana? Natasha keluar dari rumah ini? Atau sekalian Natasha dihapus aja dari kartu keluarga? Baguslah Natasha juga sudah sangat lelah tinggal di rumah ini dan Natasha rasa sudah saatnya melepas nama keluarga Varayn." Ucap gue miris. Gue mendekat ke tante Dilla yang cuma nunduk dari tadi.

"Tante gimana? Senang liat gue yang akhirnya akan tersingkirkan juga?" Ucap gue sinis. Lagi – lagi ditampar papah. Tangan gue perlahan bergerak merangkup pipi gue sendiri. Jujur, rasa sakitnya bertambah 1000x lipat jika ditampar oleh keluarga sendiri,

Di tengah pemikiran gue yang sudah sangat penuh, tiba – tiba bel rumah bunyi menandakan ada seseorang yang datang. Tapi gue gak peduli.

"Papah marahin, Natasha bisa ngerti. Tapi kalau papah bawa – bawa mamah saya seperti tadi, Natasha gak bisa ngerti pah. Natasha permisi, selamat malam." Ucap gue langsung pergi keluar ruangan kerja papah.

Namun saat gue baru mau melangkah melewati ruang tamu, ternyata ada mamah dan papahnya Vino terduduk manis di sofa. Gue dengan keadaan emosi hanya bisa diam dan tersenyum sekilas.

"Saya permisi tante, om." Ucap gue.

Baru ingin keluar rumah, lagi lagi langkah gue tertahan karena di depan pintu ada Vino dengan memakai kemeja menatap gue dengan senyumannya. Jujur, dia ganteng. Tapi sayangnya ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi sosok Vino.

"Malam ini kita akan makan malam dengan keluarga Vino. Masuk ke kamar dan ganti baju." Teriak papah. Gue mengepal tangan gue lebih kencang lagi.

Gue tarik nafas dalam - dalam, dan menghembuskannya perlahan.
"Natasha ada perlu diluar, pah." Ucap gue berusaha tenang.

"Kamu tidak malu keluar rumah saat ada tamu? Cepat ke atas dan ganti baju." Ucap papah tegas.

Gue langsung menatap mata Vino dengan tatapan membenci. Gue benci Vino karena selalu datang saat gue kacau kaya gini. Dengan langkah berat gue langsung melesat ke atas untuk berganti baju di kamar. Gue pulang sekolah sebenarnya sore, tapi gue selalu pergi ke rumah sakit untuk jenguk mamah baru pulang ke rumah.

Don't GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang