Bagian 1: Hanya Kebetulan

315 48 5
                                    

“They went separate ways, that doesn’t mean their paths won’t ever cross again.”
.
.
.
.
.

Hujan di luar tidak mengalihkan fokus wanita itu dari sebuah objek—sepucuk surat yang bisa dibilang tujuan akhir dari segelintir manusia yang berada di usia pertengahan menuju akhir dua puluh.

Atau mungkin semua manusia memiliki tujuan itu di usianya? Tidak, tidak dengan wanita yang tengah berada di salah satu kafe itu. Itu bukan prioritas utamanya, mungkin untuk sekarang.

Surat yang dihiasi berbagai macam ornamen agar membuatnya indah, kalimat syukur, petunjuk arah, serta dua nama yang dipersatukan itu menjadi satu-satunya objek fokusnya selama mungkin tiga puluh menit atau lebih.

Sambil menyesap caramel macchiato panas yang sekarang sudah mendingin, wanita itu—Fani masih sibuk memperhatikan surat itu dengan pandangan menerawang ke masa lalu. Sebuah ingatan yang sudah dia coba lupakan kini terngiang lagi dibenaknya. Ke masa dimana semua masih baik-baik saja, saat dia masih tak takut untuk mengambil langkah dengan percaya dirinya.

Rain is falling today, a painful rain. Just like the day she let him go.

Mungkin sebagian dari kalian sudah bisa menebak apa objek yang mencuri perhatian Fani daritadi. Ya, surat undangan pernikahan teman—sahabat SMA nya lebih tepat.

Undangan pernikahan.

Pernikahan.

Hal yang sering ditanyakan orang-orang kepadanya di berbagai tempat, berbagai situasi, dan berbagai kesempatan. Hal yang sudah membuat dirinya jengah mengenai perihal yang sama berulang kali.

Jadi bagaimana dia akan menikah jika menemukan tambatan hati saja belum—bukan tidak menemukan, tapi terlalu malas mencari. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa jodoh akan datang dengan sendirinya?

Lagipula dia juga terlalu malas untuk mengungkit hal-hal klise yang sudah lampau, berdebat tentang hal sepele, dan terpuruk ke dalam lembah kesepian sendirian, lagi.

Dan lagi bukannya dia adalah tipe menantu idaman seharusnya? Bagaimana seorang ‘calon’ mertua akan menolak saat berkenalan dengan calon menantunya yang mengenalkan diri dengan pekerjaan seperti dokter–calon–spesialis sepertinya? Bukankah sebagian dari mereka akan langsung merestui hubungan anaknya? Dia sedikit terkekeh pelan. Oke, Fani akui ini terlalu narsis.

Jadi untuk apa terlalu payah mencari orang yang benar-benar mencintainya—karena hampir semua laki-laki yang berkenalan dan mengetahui pekerjaannya akan langsung mengejarnya, mereka semua jatuh hati pada pekerjaannya, bukan pada dirinya. Dan Fani benci itu. Dia...hanya ingin dilihat sebagai dirinya, sebagai Fani yang biasa.

She didn’t become heartless, she just became smarter. Her happiness will not depend on someone else. Not anymore.

Terlebih lagi pernikahan juga bukan prioritas utamanya saat ini, bukan juga tujuannya dalam waktu dekat ini, jadi pernikahan bukanlah suatu urusan besar bagi Fani sekarang. Dia pikir mungkin lebih baik untuk sendiri dulu, menikmati masa-masa sendirinya yang bebas sebelum terikat dengan seseorang yang mungkin salah, lagi.


-----

Dan di sinilah Fani, berdiri di depan gedung yang sudah disulap sedemikian rupa sehingga terlihat megah. Menguatkan hati semoga tak goyah dengan keputusannya untuk datang kesini, yang mungkin—atau tentu saja orang itu juga pasti hadir ke pernikahan temannya ini. Mengingat bahwa mereka—sahabat Fani yang menikah, orang itu, dan Fani sendiri adalah teman sekelas selama tiga tahun di bangku SMA. Jadi sedikit mustahil bukan bahwa orang itu tidak diundang dan tidak akan datang?

ASKA | Jung Jaehyun - JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang