Bagian 4: Kita itu Teman, kan?

104 23 0
                                    

“I honestly don’t regret meeting or falling for you. What I regret the most is letting you tear me to shreds multiple times.”
.
.
.
.
.

“Ya Tuhan, jangan memakan nasi dengan mie di saat yang bersamaan, nanti tubuhmu melebar,”

“Fan, jangan membawa bekal terlalu banyak. Kau bisa gemuk nantinya,"

“Tak heran kenapa tubuhmu lebar, kau pemakan segalanya,"

“Sudah kukatakan untuk jangan memakan nasi dan mie bersamaan, mereka itu sama-sama karbohidrat. Kalau kau terus memakannya tubuhmu akan melar,”

Aska dengan segala teori menyebalkannya yang berakhir dengan kata lebar, melar, gemuk, dan lain-lain emang yang paling buat kesal. Saking kesalnya, Fani yang tadinya menjawab ‘ya, lain kali tidak lagi’, ‘yang menyiapkan bekal itu mamaku, aku mana tau kalau isinya seperti ini’, ‘yang punya badan itu aku, kenapa kau yang repot’, sampai dia sekarang tidak akan membuka bekal makanannya kalau masih ada Aska disekitarnya.

Tapi hari itu lain, Fani sedang bermain kartu uno dengan yang lainnya–ada Aska juga. Karena perutnya yang sudah berbunyi–untungnya keadaan kelas berisik jadi tidak terdengar jelas.

Akhirnya Fani membuka bekal makanannya, mungkin sekarang bekalnya lebih manusiawi jadi Aska tidak berkomentar apa-apa–awalnya.

“Sepertinya enak, kapan-kapan aku akan meminta mama membawakannya untukku juga,”

Mama disini maksudnya mamanya Fani, Aska memang menyebut mama Fani dengan sebutan mama, tidak tahu apa alasannya. Aska memang dekat dengan mama, mungkin karena mama ingin mempunyai anak laki-laki tapi malah dia yang lahir. Atau karena mama adalah tipe orang yang terbuka kepada orang lain dan Aska yang menanggapi mama dengan antusias membuat mereka menjadi cepat akrab. Jadi ketika Aska dengan rutinnya mengantar Fani, mama jadi ikut senang.

Fani mengangguk bangga, “apapun yang dibuat mamaku pasti enak,”

“Tak heran jika anaknya terlihat sepertimu," Aska mengucapkan itu dengan wajah datarnya, sedangkan Fani masih terdiam memproses kata demi kata yang diucapkan Aska. Sampai akhirnya dia mengerti pernyataan yang Aska lontarkan, lalu tak lama dia mengambil sendok dan memukul Aska menggunakan ujung sendok besi itu dengan bringas. Sontak Aska membuat pertahanan diri dengan hebohnya membuat teman-teman yang lain menggelengkan kepala melihat itu.

"Kau perhatian sekali dengan Fani," celetuk Arin yang memang daritadi duduk disamping Aska.

"I am, then why? Apa itu salah?" kata-kata yang tak pernah Fani pikir bakal keluar dari mulut seorang Aska.

Mendengar hal itu keluar begitu saja ternyata juga mengejutkan bagi seorang Arin yang tahu segalanya. Arin langsung melirik Fani yang sudah lebih dulu meliriknya.

Fani yang tidak punya ide untuk membalas perkataan Aska–dan memang sepertinya tidak berhak karena tadi Aska berbicara kepada Arin bukan dirinya. Tapi hei, itu masalah yang menyangkut dirinya juga bagaimanapun. Topik tadi juga tentang dirinya, jadi bukankah dia berhak membalas perkataan Aska barusan?

Terlalu banyak jawaban seperti ‘apa-apaan kau ini’, ‘kau mau minta apa lagi sampai berbicara seperti itu’, ‘sok perhatian sekali’, yang berterbangan di pikiran Fani. Tapi akhirnya Fani putuskan untuk diam. Mungkin diam lebih baik daripada harus membalas perkataan Aska selanjutnya yang mungkin bisa membuat dirinya salah tingkah.

-----

Fani harus memiliki cadangan kesabaran yang lebih untuk menghadapi Aska. Bayangkan saja, hari itu dia sedang asik membaca novel dengan kecepatan maksimun, karena dia hanya meminjam novel itu untuk dua hari pada temannya.

ASKA | Jung Jaehyun - JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang