Bagian 2: Takdir Itu Nyata?

184 34 1
                                    

“I always think I’m over you, always think I’ve done so well, made so much progress, found a flaw that will turn me off from you, but then I see you. Then I see you. I freakin’ just see you. And the cycle starts again.”
.
.
.
.
.

“Kau sedang apa disini?”

Ada jeda sesaat, Aska memerhatikan penampilan Fani—khas dokter, dengan snelli, baju jaga berwarna biru, sendal karet, dan stetoskop yang menggantung di leher, "kau tampak seperti dokter disini, apa aku benar?" tebaknya dengan mata yang membulat.

"Eh?" Fani mengerutkan keningnya membuat alisnya menyatu, rasanya ada yang aneh, karena dia belum bercerita apapun mengenai kehidupannya yang sekarang, tapi mengapa bisa Aska tau dia seorang dokter di rumah sakit ini.

Namun sedetik kemudian dia sadar lalu melihat penampilannya sendiri. Salahkan penyakit pikunnya karna lupa melepas stetoskop sehabis mengunjungi pasien tiga jam yang lalu.

Dan dengan begitu, selama dia menonton drama tadi, selama itu pula stetoskop itu menggantung di lehernya. Pantas saja tadi Ika–teman perawatnya yang masuk kedalam ruangan istirahat dan menatapnya dengan tatapan aneh.

"Oh...yah, secara teknis memang seperti itu," ada rasa yang aneh saat Fani mengungkapkan bahwa cita-citanya sudah tercapai sekarang, di hadapan orang yang tau bagaimana dia memulai segalanya dari nol, “kau sedang apa? Ada yang sakit?” tanya Fani sambil melepaskan stetoskop, dan merapihkan sedikit bajunya.

"Ya, ibuku tadi bilang kalau badannya meriang. Jadi sepulang kerja tadi langsung kesini," Lelaki itu ikut merapihkan pakaiannya sendiri "maaf ya kalau penampilanku tidak rapih sekarang,” lagi-lagi senyum itu muncul lagi. "Tadi aku belum makan malam, makanya aku ke kafetaria ingin membeli beberapa roti dan minuman,"

Fani mengangguk, "santai saja. Tampilanku juga kusut seperti ini, bukan hanya kau,"

"Tidak, tidak. Kau masih terlihat cantik, sepertinya,"

"Sepertinya?"

"Hanya bercanda. Dari dulu kau cantik," Aska mengatakan kalimat terakhir dengan pelan, sangat pelan seperti hampir sebuah bisikan.

"Apa tadi kau bilang?"

"Hanya bercanda," katanya mengulang omongannya.

"Bukan yang itu, yang setelah itu,"

"Apa? Aku tidak mengucapkan apa-apa, ini sudah malam, kau hanya kurang fokus," dengan kalimat itu Aska mengusap kasar muka Fani, dan berlalu meninggalkan Fani yang mematung di tempat dengan ekspresi jengkel.

Lihat? Jelaskan bagaimana Fani tak jatuh pada orang ini. Aska akan bercerita banyak tanpa Fani minta. Mengikis tembok pemisah antara mereka dalam keheningan. Dan Fani selalu suka itu. Karena pada dasarnya Fani adalah tipikal orang yang kaku, dan sikap Aska yang begitu membuatnya nyaman.

Tapi justru itulah hal yang paling berbahaya. Saat dia sudah merasa nyaman, hal yang ia takutkan adalah tiba-tiba pria itu berubah—ketakutan klise wanita.

Setelah Aska mengajaknya duduk disalah satu meja kafetaria, dan memesan minuman untuk mereka berdua, Fani segera memutar otak mencari topik yang pas untuk menjadi bahan obrolan.

"Jadi, tentang ibumu, ibumu sakit apa?"

"Yah, semacam penyakit orang tua,”

Aska memangku kepalanya dengan satu tangan yang ia lipat di atas meja, matanya hanya terfokus pada Fani. Sedangkan Fani hanya ber-‘oh’ ria, “selamat ya,” ucapnya sambil menjulurkan sebelah tangannya.

ASKA | Jung Jaehyun - JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang