Bagian 8: Lubang yang Sama

59 16 0
                                    

"It’s my own fault I got hurt again. I shouldn’t have let you in. But when you held my hand I felt so safe and forgot how bad love can hurt you when it ends."
.
.
.
.
.

“Ra, jadi menemaniku mencari buku, kan?” Hera–teman sekampus Fani yang bertubuh sedikit gempal itu mengangguk, lalu tersenyum.

“Kau selesai jam berapa? Mata kuliahku selesai jam dua,”

“Yah, sepertinya kau harus menunggu sebentar. Mata kuliahku selesai jam setengah empat,”

“Sebenarnya itu tidak sebentar, tapi ya sudahlah, aku tunggu di kafe depan kampus saja, ya” dan dengan kalimat itu mereka pisah di lorong kampus.

Selepasnya jam kuliah berakhir, Fani langsung menuju kafe yang dimaksud Hera. Dan benar saja kalau Hera sudah ada di situ dengan headset yang tersambung dengan laptopnya. Menonton film, mungkin.

Setelah duduk di hadapan Hera, Fani langsung meminum Thai tea Hera sampai habis, maklum tadi dia berlari menuju kafe, takut-takut kalau Hera lama menunggu lalu pergi meninggalkannya.

Setelah memesan taksi online mereka menuju toko buku yang di tuju. Jangan heran jika Fani akhir-akhir ini menjadi rajin, karena dia akan menghadapi sidang akhir untuk kelulusannya. Fani harus lulus tahun ini agar dia mendapatkan gelar Sp.JP di belakang namanya.

Jangan tanya Fani tentang Aska, karena Fani tidak tahu apapun mengenai Aska. Dia tidak pernah bertemu lagi, bahkan sudah beberapa kali Fani mengunjungi kafe di dekat kantornya pun Aska tidak memunculkan batang hidungnya.

Aska hilang bagaikan ditelan bumi. Aska suka datang lalu pergi tanpa antisipasinya. Itu memang sifatnya dari dulu, jadi wajar, kan, kalau mama kurang percaya dengan Aska?

Setelah menghilangnya Aska yang hampir dua bulan ini, Fani pikir dia sangat bodoh karena berharap dengan Aska yang tidak jelas.

Lagipula mereka hanya berteman, bukan? Jadi selama dua bulan ini dia mencoba untuk membuka hatinya untuk dokter Daniel, dan itu sama sekali tidak buruk.

Dokter Daniel memperlakukan Fani bagaikan Fani adalah seorang wanita yang sangat dijaganya, dihormatinya, dan segalanya hanya tentang kenyamanan Fani. Awalnya Fani memang merasa risih, tapi lama-kelamaan dia mulai terbiasa. Orang bilang, cinta ada karna terbiasa, bukan?

Balik ke kenyataan, di sinilah Fani. Di pojokkan toko buku, bergulat dengan buku-buku tebal yang berbau tentang jantung, peredaran darah, pembuluh darah, vena, arteri dan sebagainya. Dan lagi. Lagi. Dia melihat sosok itu. Di balik buku-buku tebal ini.

She thought she was done loving him.

She really did.

But then, she saw him on the corner, and she smiled.

Her friend was with her, and she told her that they were just friend.

But she just looked at her with sympathetic smile, shook her head, and told her that someone who was ‘only a friend’ could never make her smile as brightly as he did.

Hera menasehati Fani agar mendatangi ‘teman’nya itu. Hera tentu tau siapa Aska hanya dengan sekali lihat, dia laki-laki yang suka Fani ceritakan dengan panggilan ‘x’.

Fani mengingatnya sebagai apa yang paling ingin dia lupakan, dan–mungkin Aska akan mengingatnya sebagai apa yang pernah dia sia-siakan.

Fani sudah berkali-kali menolak, tapi Hera bilang ini tentang masa depannya Fani dan sepertinya juga tidak masalah untuk berbicara dengan ‘teman lama’, bukan? Jadi Fani pikir ini waktunya untuk bertindak lebih jauh.

ASKA | Jung Jaehyun - JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang