Part 1

744 98 2
                                    


Yuki, gadis dengan perawakan tinggi langsing, leher jenjang dan senyum merekah itu sebenarnya gadis yang sangat ceria. Kehadirannya mampu menarik perhatian banyak mata. Bicaranya lugas, matanya teduh, coklat bercahaya. Dia bukan satu-satunya yang tercantik di kampus, bahkan masih banyak lagi mahasiswi yang lebih cantik. Tapi, aura bersahabat dan kemampuannya menyesuaikan diri membuatnya banyak diidamkan laki-laki, bahkan sahabat-sahabatnya sendiri.

Dilihat dari fisik, tidak ada yang menyangka, nasib percintaannya berbalik 180° dengan kehidupan pertemanannya. Ia pernah mencintai seorang laki-laki jangkung pecinta CB, sangat-sangat mencintai, bahkan mereka sempat memimpikan hubungan yang lebih serius ketika kuliah Yuki selesai nanti. Tapi semua diluar kendali. Seorang gadis datang meminta pertanggung jawaban kekasihnya, karena benih yang tak sengaja telah tumbuh.

Didit pernah berselingkuh, ketika laki-laki itu sudah berubah, mengakui kesalahannya, hasil dari perbuatannya muncul, tepat dua minggu sebelum pertunangan mereka.

Marah? Tentu saja. Semua rasa kecewa berkumpul jadi satu didadanya, tapi tak pernah sekalipun Yuki berhenti mencintai Didit. Cintanya masih sama, meski sakitnya jelas semakin bertambah dan melebar.

"Tunggu aku dua tahun lagi, ini hanya pernikahan settingan, Nduk... Gadis itu tidak benar-benar menginginkan anaknya. Dia hanya butuh status dan pengasuh setelah anaknya lahir, kemudian kami akan bercerai," ucap laki-laki jangkung itu lewat sambungan telepon. Entah karena bodoh atau terlalu naif, Yuki menelan bulat perkataan itu. Ia bersikeras menunggu, mendengar kata-kata Didit mengalir seperti angin surga ditelinga. Sekecil apapun, itu tetap harapan.

Pemilik bibir kecil tapi ranum itu menekan dalam-dalam sakitnya, berusaha kembali tersenyum, menggeser minggir segala keraguan yang tak pernah berhenti muncul.

"Mas sudah makan?" Dicobanya mengalihkan perhatian. Ia tahu laki-laki penderita magh akud itu selalu melewatkan jam makan siangnya. Tak ada jawaban dari seberang, hanya helaan napas berat, seolah berton-ton beban dia pikul. Apa sebenarnya yang dia pikirkan? Dimana hatinya berada? Pertanyaan itu bergantian muncul, berdesakan ingin diungkapkan.

Yuki tak perduli sesakit apa hatinya. Baginya, mencintai itu bukti, bukan sekedar perkataan 'aku cinta kamu' dan selesai begitu saja. Perlu perjuangan, meski Ia sadar apa yang diperjuangkannya mungkin saja salah.

Dia terus bergeming, mencoba membohongi diri sendiri, bahwa suatu saat nanti Didit akan kembali seperti apa yang sudah dijanjikannya, tapi itu tak pernah terjadi. Harapannya luntur tatkala penggila balapan liar itu tidak lagi meresponnya dengan baik, seperti sebelum-sebelumnya. Hanya sekedar sapaan sehari-hari, pengisi diwaktu luang.

Didit sudah berubah, dia menyadari hal itu tanpa sedikitpun rencana membencinya. Laki-laki yang sudah menikah, tinggal di satu atap yang sama dengan gadis yang Ia nikahi, dan sebentar lagi buah hatinya hadir didunia. Mungkinkah tidak ada setitikpun rasa cinta? Hal yang sangat mustahil Ia kira. Kepalanya terasa berat dan penuh tatkala membayangkan dua manusia berbeda jenis kelamin berbagi tempat tidur. Ya Tuhan ...

"Anak mas lahir, Nduk, namanya Aisyah ..." suara di seberang serak, terdengar antara ragu dan bahagia.

Yuki tersenyum. Ia turut berbahagia untuk Didit. Berbahagia atas kelahiran putri kecilnya. Berbahagia untuk Laila, atas perjuangannya menjadi seorang wanita yang sempurna. Namun, sisi lain hatinya menganga. Luka itu terus mengucurkan darah, hingga Yuki tak lagi menemukan cara selain membuangnya, dan mencangkoknya dengan organ yang baru.

Berbagai hal dia lakukan untuk membunuh perasaan itu, mencoba kembali pada realita bahwa perhatian, cinta dan pengorbanannya tak pernah berarti jika disandingkan dengan Laila, perempuan berbadan sintal dengan senyuman manis yang pernah dia lihat di foto. Dia hanya kekasih Didit lewat sambungan telepon, bertemu beberapa bulan sekali, tak ubahnya seperti mesin pengingat. Pengingat makan, pengingat kerja, alarm diwaktu pagi. Gadis itu tergelak. Pahit yang Ia rasakan bukankah sebuah pelajaran? Mungkin setelah ini ada laki-laki baik hadir untuknya.

I am here   (END)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang