Ivan POV
Aku menarik masker dari wajah Vani dengan lembut, Vani menatapku bingung, matanya langsung terpejam dan mengendus mendekat ke arahku.
Sempurna, sesuai perkiraanku.
Aku menarik tubuhnya keluar dari lift melewati Diana yang menatapku tajam.
"Ivan!" Panggilnya.
Aku tidak menghiraukan panggilan dirinya.
"Ivan!!!" Panggilnya lagi dengan menarik lenganku.
Aku memutar tubuhku bersamaan tubuh Vani yang masih melekat di tubuhku.
Kulihat mata Vani terbuka, wajahnya masih mengendus pundakku, tapi tatapannya bingung menatapku.
"Ada apa sih?" Tanyanya bingung, lalu dirinya berusaha menegakkan kepalanya.
Tanganku menarik kepala dan wajahnya melesak ke leherku kembali.
"Bantu saya ya, kamu diem aja" Bisikku pelan.
Diana menatap ke arah kami tajam, matanya mendelik ke arah Vani sinis.
"Jadi semudah itu kamu ngelupain aku ya?" Tanyanya dengan nada suara kesal.
Aku hanya terkekeh.
Tanganku masih memegang kepala Vani yang bersender di dadaku.
"Mudahlah ngelupain perempuan yang berselingkuh di depan mata kepala sendiri padahal hari pernikahan udah di depan mata" Kataku santai walaupun dada ini sedikit sakit mengingat kejadian di mana aku mendapati dirinya make out dengan seorang pria di kamar rumahnya yang selalu sepi.
Kulihat wajah Diana memerah.
Tapi dirinya dengan cepat mengontrol dirinya sambil berdeham.
"Aku gak selingkuh, kemarin itu terjadi karena sindrom pernikahan yang sudah mendekat, aku gelisah, kamu gak ada pas aku ngebutuhin kamu karena sibuk ngurusin tetek bengek pernikahan kita" Jawaban Diana sukses membuatku melotot.
Kurasakan gerakan kepala Vani.
"Bloon bener sih jadi perempuan, malu-maluin aja pake bilang sindrom pernikahan" Vani berkata sambil berkacak pinggang ke arah Diana.
"Perempuan macam gini sih emang pantas dilupain, ayo mas Ivan kayanya meeting kamu lebih penting daripada layanin dia" Vani menarik tanganku.
"Heh, siapa elu berani ngomong gitu ke gue?!" Diana menarik pundak Vani dengan kasar.
Aku langsung menarik tubuh Vani ke belakang tubuhku. Niatku melerai mereka sebelum terjadi pertarungan yang tidak diinginkan, untungnya tidak terlihat karyawan di sekitar kami.
"Gue ini perempuan yang bisa bikin dia ngelupain perempuan gak penting macam lu, ngerti?!!" Tubuh Vani menyembul dari balik tubuhku.
Aku mengulum senyumku.
Vani sangat mengerti keadaan, dirinya berimprovisasi sangat sempurna.
Aku kembali menarik tubuh Vani ke belakang tubuhku.
Aku menarik nafas panjang dan menoleh ke arah Diana yang kulihat dadanya bergerak naik turun mengontrol emosinya.
"Diana, lebih baik kamu pergi sekarang, apa pun yang membuatmu datang ke kantorku, rasanya tidak perlu. Hubungan kita sudah berakhir" Kataku final.
Aku menghadap ke arah Vani yang masih melotot ke arah Diana.
"Vani ini kekasihku, jadi wajar kalo dirinya berkata seperti itu. Silahkan liftnya sudah menunggu" Aku memencet tombol lift ke bawah, dan pintunya langsung terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfumed
RomanceBEBERAPA PART SAYA HAPUS UTK KEPENTINGAN PENERBITAN Warning for +21 only Penulis hanya menuangkan ide cerita, tidak menganjurkan untuk dipraktekkan, harap bijak dalam membaca Happy reading 17/8/17 - 17/9/17