Jimin seringkali marah ketika sang ayah merokok di dekatnya. Bukannya Jimin penggila kesehatan tetapi asap rokok memang membuatnya terbatuk-batuk dan merasa kesal. Ayahnya hanya akan meminta maaf sambil tertawa -Tuan Park yakin jika dewasa nanti Jimin akan terbiasa dan mengerti juga- lalu sebisa mungkin dia tidak akan merokok lagi di dekat Jimin.
Tapi nyatanya sekarang rokok adalah sesuatu yang Jimin suka.
Bukan untuk konsumsi pribadi ataupun sesuatu yang dinikmati secara fisik. Melainkan sebagai hal yang memanjakan pandangan dan perasaannya setiap kali rokok tersebut diapit oleh sepang bibir tipis milik pria bertindik tiga di telinga kiri, bertatto di pergelangan tangan dan berkulit pucat di kejauhan sana. Yang menenteng sebuah kantong kresek berisi beer dan camilan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jimin langsung berpaling dan memperbaiki kacamata ketika pria tersebut menoleh ke arah belakang. Jimin bahkan mengubah arah langkahnya, berpura-pura menuju halte terdekat padahal rumahnya hanya berjarak satu blok saja dari tempatnya sekarang, tidak perlu menaiki bis segala. Tetapi dia tentu akan rela repot-repot naik bis daripada dianggap stalker culun yang meresahkan.
Sang objek yang sudah beberapa hari terakhir ini Jimin perhatikan sepertinya tahu tindak tanduk Jimin maka dia benar-benar berbalik dan berjalan menghampirinya.
"Hei, bocah." Sapanya asal pada sang pemuda berseragam sekolah.
"Iya. Kau." Sambung si pria dewasa ketika Jimin menolehkan kepala ke segala arah berpura-pura merasa bukan dirinya yang dipanggil.
"Iya?"balas Jimin bersusah payah menahan agar pandangannya tidak jatuh pada bibir tipis yang tengah mengapit nikotin bermerk Esse Lights itu.
"Kau,"kata itu terjeda oleh hisapan panjang pada rokok serta hembusan yang panjang pula untuk mengeluarkan asapnya, "kau stalker ya?"
"EEEeeh!?"
Jimin tak sengaja berteriak keras. Wajahnya sontak mengeras dengan sikap gugup penuh salah tingkah. Pemuda kelas dua SMA itu memanglah berkepribadian naif dan sederhana. Air mukanya jelas-jelas menampakkan bahwa dia telah kedapatan melakukan kesalahan yang sangat teramat besar.
"Wah, benar dugaanku. Beberapa hari ini aku selalu merasa kau berjalan pelan di belakangku dan aku yakin seribu persen kau bukan kenalanku. Jadi bisa kau jelaskan-"