20

670 68 13
                                    

"Isi rekaman ini apa? Penting, ya?" tanya Yuki.

Begitu pulang dari rumah Nata, Stefan langsung membukakan pintu, mendorong Yuki masuk dan menyuruh Yuki duduk dengan teramat semangat. Setelah Yuki duduk dengan raut wajah kebingungan, Stefan pun memberikan handphonenya dan memperdengarkan rekamannya.

"Dengerin, jangan banyak bacot" kata Stefan, duduk disamping Yuki dan menyengir.

"Iya deh, iya! Ck!"

Yuki mendengus, emangnya sepenting apa?

"Stef, Mama nggak mau tahu! Kamu harus cepat ngasih cucu! Kamu itu udah dewasa, Mama nggak mau pas tua banget untuk ngegendong cucu"

Itu jelas suara Mamanya Stefan, Yuki juga tahu itu.

"Kamu itu gentle dikit kek jadi cowok, deketin Yukinya, deketin! Cewek itu bakalan luluh kok, kalau sikap cowoknya manis! Kamu itu ngerti nggak sih, caranya? Mama jadi ragu kamu ini cow--"

"Iya, iya, Ma!" kali ini terdengar suara Stefan. "Masalahnya, Yuki itu pemarah banget. Tiap Stef deketin, dia malah marah, mana pake nginjak kaki Stef segala. Stef juga udah berusaha, tau!"

Yuki menatap tajam pada Stefan. Menyebalkan. Stefan tersenyum malu pada Yuki, bisa mati dia. Stefan menyesal tidak mengontrol ucapannya waktu itu.

"Oke, gue pemarah. Good, Stef. Lo jujur banget!" kata Yuki, ia tersenyum miring dan nada bicaranya terdengar merendahkan. "Maka dari itu, gue bakal marah tiap hari. Liat aja"

"Mama nggak mau tau, apapun alasannya. Cepetan bikin cucu buat Mama, titik!"

Lalu rekaman itu terhenti, sudah selesai. Sebenarnya masih cukup panjang, maklumlah, Mama Stefan kalau ceramah bisa sampai dua jam. Untungnya Stefan --yang merasa baik-- tidak merekam semuanya agar Yuki tidak bosan mendengarkan ceramah panjang lebar Mamanya.

"Sorry Stef, tapi kayaknya ini nggak akan semudah itu" Yuki menghela napas panjang, ia menyerahkan kembali handphonenya ke Stefan. "Ya lo tahu, gue juga masih kuliah. Dan, perasaan gue juga masih belum ada ke elo"

Yuki nyatanya berbohong. Sebenarnya, perasaan itu sudah hadir, sedikit. Buktinya saja, ia takut saat bermimpi Stefan mendapatkan malapetaka. Ini jelas bukti bahwa Yuki, takut kehilangan Stefan. Yuki masih ragu menyatakan bahwa perasaan itu sudah mulai muncul, ia takut, Stefan justru belum merasakan apapun terhadapnya. Jujur, Yuki masih gengsi.

"Gue nggak mau gengsi lagi, atau apa. Demi masa depan kita" Stefan menghela napas. "Gue udah mulai sayang ke elo, Ki. Gue yakin lo juga. Selama ini, kita udah berusaha saling mencintai dan gue rasa nggak sia-sia"

"Tapi--"

"Jangan bohong, Ki" Stefan menarik Yuki ke dalam pelukannya, tiba-tiba. "Lo rasain deh, detak jantung gue, cepat banget kan?"

Yuki terdiam, ini sangat tiba-tiba. Tapi memang benar, karena kepala Yuki bersandar pada dada Stefan, Yuki jadi bisa mendengar jelas suara debaran jantung Stefan.

"Gue tahu bahwa debaran jantung bukan berarti selalu jatuh hati. Tapi, gue yakin lo bisa liat bahwa gue beneran udah sayang sama lo, setelah selama ini"

Yuki langsung mendorong Stefan dan menatap Stefan dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Kalau lo ngira gue lakuin ini karena permintaan Mama, maka lo salah. Nyatanya kita emang udah dewasa, gue mau kita lebih serius ngejalanin ini"

Stefan menatap Yuki dengan intens, membuat Yuki terdiam, berusaha mencerna semua ucapan Stefan. Hingga kejadian-kejadian ia bersama Stefan pun terngiang kembali di kepalanya.

Exchange 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang