Chapter 2

31.2K 1.5K 23
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. Just read and enjoy~

***

            Hailey berharap aku bisa bertahan bekerja di RCS Advertisement. Bagiku itu bukan masalah besar. Aku hanya perlu beradaptasi dengan keadaan di kantor yang penuh dengan kemunafikan antar karyawan. Mungkin dari antara semua karyawan di lantai 9 ini, hanya aku yang tidak banyak bicara dan lebih banyak mendengarkan karyawan-karyawan bermuka dua di dapur atau ketika aku sedang mencari barang-barang keperluan Justin—aku boleh menyebut nama depannya saja ketika ia sedang tidak bersama klien—di ruang penyimpanan. Baru empat hari aku bekerja di perusahaan ini, tetapi sejak aku masuk ke dalam perusahaan ini, hinaan terhadap Justin tidak pernah berhenti. Okelah, mungkin sebagian karyawan wanita di perusahaan ini memuja Justin daripada karyawan pria. Mungkin hinaan-hinaan yang sering kudengar keluar dari mulut karyawan pria. Mereka seolah-olah ingin menjadi Justin Richardson, hanya saja, mereka tak mampu. Atau lebih tepatnya, mereka tak bisa.

            Aku menyusun jadwal pertemuan-pertemuan Justin di hari-hari berikutnya agar ia tidak kewalahan untuk menghadapi hari esok. Ada beberapa hal yang ia minta padaku untuk diberitahu padanya apakah semuanya baik-baik saja. Seperti properti yang ia butuhkan ketika ia presentasi besok, keadaan ibunya, serta keadaan anjingnya sekarang. Besok Justin akan bertemu dengan kliennya untuk membuat iklan sepatu. Dan aku harus ikut bersamanya kemana pun ia pergi karena Morgan, entah mengapa bisa ia jatuh sakit. Mataku melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 12 siang. Saatnya makan siang. Aku menutup buku jadwal Justin lalu menyimpannya di ujung meja agar kelihatan rapi. Ketika aku bangkit dari kursi dan mengambil tas kecil yang kubawa, pintu ruangan Justin terbuka. Muncullah monster yang paling menawan dari semua monster di dunia ini dari balik pintunya. Ia tidak menatapku, tetapi ia menatap pada ponsel yang dipegangnya.

            "Anna, kau punya waktu?" Tanyanya tanpa menatapku, matanya fokus pada ponsel.

            "Tidak?" Aku menjawab dengan nada bertanya balik. Saat itu juga Justin mendongakkan kepalanya. Justin menatapku seperti Joe Bastianich yang selalu memberikan tatapan mematikan, aku membeku. "Ya, aku punya waktu, Justin,"

            "Aku ingin kau pergi ke bar teman baikku untuk mengambil berkas-berkas contoh iklan di sana. Tetapi kau tahu aku punya janji makan siang bukan hari ini dengan teman baikku yang lain? Lebih baik kau naik mobil bersamaku, aku akan menurunkanmu di barnya," ucap Justin tanpa melepaskan pandangannya dariku. Aku mengangguk mantap merasa bersedia untuk melakukan apa pun demi pekerjaan ini, bukan demi dia. "Ayo."

            Ia berjalan cepat melewati meja kerjaku. Kenapa bukan dia saja yang ambil berkas-berkas sialan itu? Mengapa bukan asisten temannya saja yang membawanya ke gedung ini? Mengapa Justin terlihat begitu nyaman menyiksaku seperti ini? Aku ingin makan siang!

***

            Selama berada di dalam mobil bersama Justin—untuk yang pertama kalinya—aku merasa sangat tegang. Entah  mengapa pria ini tiba-tiba menjadi bisu ketika kami berada di luar gedung. Bahkan sedari tadi ia menatap ponselnya atau keluar jendela. Tidakkah ia melihat ada manusia yang sedang duduk di sebelahnya? Apakah suaraku seburuk itu hingga ia tidak ingin berbicara denganku? Ponselnya tiba-tiba berdering, dengan gaya anggunnya, Justin mengangkat telepon itu.

            "Hey, sayang, ada apa?" Suara Justin tiba-tiba saja terdengar lembut. Tubuhku merinding seketika ketika ia berbicara dengan suara seperti itu. Dengan siapa ia berbicara? Kekasihnya? Tidak mungkin! Hailey sudah mencaritahu tentang Justin dari tempo hari dan tidak pernah mendapatkan foto Justin bergandeng tangan dengan wanita. Aku curiga ia gay, tetapi tidak mungkin. Mungkin ia trauma dengan masa lalunya atau sesuatu yang membuatnya tak ingin memiliki kekasih. "Maafkan ayah, sayang. Ayah tak bisa menjemputmu, tetapi Dave bisa. Apakah itu baik-baik saja? Baiklah, ayah mencintaimu." Ucapnya lembut pada anaknya—pastinya. Aku berdeham hingga membuat kepalanya menoleh padaku.

Perfect TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang