Chapter 7

18.8K 972 5
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. Just read and enjoy~

Backsound: terserah kalian :)

***

            Labirin itu sungguh luas. Jika dilihat dari helikopter yang terbang di atas labirin itu, sudah jelas, jarak antara Justin dan Giavanna cukup jauh dan harus menempuh belokan-belokan yang mengecoh. Perempuan dengan rambut disanggul itu tampak panik. Anak kecil yang seharusnya ada di sisinya, sekarang telah hilang entah kemana. Giavanna tak terpikir untuk menghubungi Justin sampai akhirnya ponsel di kantong roknya bergetar. Tangan kurusnya merogoh kantong roknya lalu mengambil ponsel yang bergetar itu. Justin Richardson menghubunginya. Seketika itu juga Giavanna panik. Bagaimana jika Arthur diculik orang jahat? Bagaimana jika Arthur tersesat dan telah keluar dari labirin? Ya Tuhan, apa yang harus Giavanna katakan pada Justin? Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu mengangkat teleponnya.

            "Ya, Justin," ucap Giavanna sambil mengembus nafas panjang. Suara anak kecil berteriak-teriak terdengar di seberang sana, membuktikan bahwa Arthur baik-baik saja. Mata perempuan itu terpejam penuh rasa syukur. Setidaknya, Arthur telah bersama ayahnya. Dan ayahnya yang lain.

            "Kau ada dimana?" Tanya Justin tanpa ada rasa khawatir. Tentu saja pria itu tidak khawatir terhadap perempuan ini. Justru ia merasa senang! Setelah setengah hari berada di kantor sambil menghirup aroma yang sama di ruang kerja, Justin terpisah dengan Giavanna. Entah mengapa Tuhan menempatkan Giavanna di kantornya, yang jelas Tuhan tahu apa yang sedang Ia lakukan pada Justin. Tetapi tetap saja, Justin tidak menyukai rencana-Nya yang membuat Justin tambah membenci Giavanna, meski alasannya tidak begitu masuk akal. Justin menunggu jawaban dari Giavanna. Ia hanya bisa mendengar suara deru nafas Giavanna di ponsel lalu seperti telah dijawab perempuan itu, Justin mengangguk layaknya orang bodoh. Kemudian ia memutuskan teleponnnya.

            Giavanna menyandarkan tubuhnya ke dinding labirin di belakangnya. Mendengar suara Justin cukup membuat Giavanna pening. Seharusnya ia tidak mengangkat telepon itu. Entah mengapa, Giavanna merasa begitu lelah dan mengantuk. Mungkin karena kemarin malam ia kurang tidur dan kelelahan. Giavanna terlalu banyak berpikir. Apalagi setelah mengetahui Hailey, sahabatnya, hamil. Rasanya dunia berputar-putar mengelilinginya, membuatnya pusing dan mual. Pekerjaan gila ini, keadaan yang ia hadapi sekarang dan kenyataan atasannya gay membuat Giavanna merasa jiwanya tak hidup. Ia terlalu lelah untuk berjalan sekarang. Arthur sedari tadi berlari. Ia meminta Giavanna bermain kejar-tangkap dan berakhir seperti ini. Sepatu tumit tinggi yang ia lepas—ketika ia bermain kejar-kejaran—sudah berada cukup jauh dari kakinya. Tidak, tidak, tidak. Ia harus duduk sebentar, menikmati suasana labirin dan berpikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

            Sepertinya meminta izin pulang ke rumah bukan ide yang buruk.

***

            Kaki anak kecil itu melayang-layang di atas kursi restoran terbuka di luar labirin. Ia sedang menikmati makan siangnya sambil ditemani Alexander yang dari tadi memerhatikannya sambil tersenyum. Sementara Justin terpaksa harus mencari Giavanna di dalam labirin. Ini semua karena permintaan Alexander dan Arthur. Mengapa mereka berdua begitu menyukai Giavanna? Mungkin hanya Justin yang normal di antara mereka bertiga saat ia berpikir. Pengunjung labirin memerhatikan Justin yang berlari-lari dan lalu menghilang dari penglihatan mereka. Pria itu terlihat sangat gesit ...dan tampan. Setelan hitam,  kemeja putih, dengan dasi hitam membuat perpaduan yang sangat pas. Justin berhentik sejenak untuk mengatur nafas di tengah-tengah labirin. Dua pengunjung wanita yang sedang berfoto-foto di daerah Justin terhipnotis begitu saja saat pria itu berhenti di dekat mereka. Perempuan yang tadinya difoto itu berambut cokelat, sementara yang lain berambut pirang. Mata mereka sedang dimanjakan pemandangan langka. Ya Tuhan, pria itu sangat tampan! Ingin rasanya mereka menarik lepas jas hitam pria itu lalu membuka kemeja putih itu dengan kasar hingga menghasilkan suasana yang sangat erotis dan seksi.

Perfect TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang