SUDAH satu jam lebih dua orang anak muda itu berada didepan gundukan tanah bertaburi bunga. Salah satu dari mereka mengelus batu nisan yang tertulis nama orang tua dari Felisha Agatha.
Air mata itu meleleh, mengalir ke pipi dan mengenai dagu. Perempuan itu terisak pelan, bahwa keluarga yang hangat yang ia punya, kini sudah dibawah tanah.
"Ini udah empat tahun, Flash. Empat tahun! Tapi kenapa gue belom terbiasa?" Ucapnya sambil terisak. Pipinya basah akibat air mata dan gerimis kecil, seakan mengerti untuk menutupi air mata perempuan itu.
"Ngelupain orang yang sangat berarti itu susah Fel. Mau ribuan tahun lagi, kalo orang itu adalah orang yang kita sayang, kita susah lupainnya." Flash mengelus punggung perempuan itu. Sebenarnya banyak kata penenang lainnya seperti, sabar atau semua baik-baik saja, tapi bukan kalimat seperti itu yang Felish butuhkan.
"Harusnya gue gak minta orang tua gue pulang saat itu..." Ucap Felish dengan suara yang bergetar. "Kalo gue tau ada kecelakaan pesawat, gue bisa nunda kangen gue." Sambungnya. Ia menutup mulutnya karena tak kuat ada kesepian hati yang tak berujung seperti ini.
"Lo jangan terus-terusan salahin diri lo sendiri." Ucap Flash.
"Ini salah gue Flash, mau gimana pun, ini semua karena gue." Katanya lirih. "Mau lo bilang ribuan kali pun kalo ini bukan salah gue, tetep aja gue penjahatnya." Tangisnya menjadi.
Melihat tangis Felish menjadi, ia menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Mengelus rambutnya pelan dan berbisik. "Dan gue akan bilang ribuan kali kalo itu bukan salah lo."
Felish menggigit bibir bawahnya, ia menarik diri dari pelukan Flash. "Tapi... gue sakit banget Flash."
"Lo tau? Kehilangan itu ngajarin kita buat kuat. Ngajarin kita buat mempertahankan apa yang kita punya sekarang." Ujar Flash sembari tersenyum. Ia mengusap air mata yang menggenang di pipi perempuan itu.
"Tapi, gue gak punya siapa-siapa sekarang. Udah gak ada lagi yang mesti gue pertahanin." Ucapnya kembali menangis. Mengingat bahwa sekarang ia sendirian. "Jadi sekarang siapa yang gue pertahanin?" Lirihnya.
Seketika raut wajah Flash menjadi serius. Ia memegang kedua bahu Felish dan mencengkramnya erat, pandangan mereka bertemu.
"Lo masih punya gue."
***
"Pokoknya Felish gak mau tau ya Ma, besok pagi Mama sama Papa harus pulang. Pokoknya, waktu Felish bangun dari tidur, Mama sama Papa udah ada dirumah." Ujar Felish sembari mengerjakan PR di atas tempat tidur.
Terdengar lenguhan panjang dari balik telepon. "Tapi sayang, Mama sama Papa lagi sibuk. Serius deh, ini kerjaannya lagi banyak banget." Ujar Nadi, Mama Felish, sambil mengetik sesuatu dari laptop-nya.
"Felish gak mau tau. Felish lagi kangen. Masa Mama gak ngerti, sih?" Ujarnya sebal.
Wajar kalo sifat Felish masih bawel dan pemaksa. Karena ia masih duduk di bangku kelas delapan.
"Iya... Mama usahain ya sayang." Ujar Nadi maklum.
Sudah sebulan lebih Felish sendirian dirumah. Dan sudah sebulan juga kedua orang tuanya di Bogor, karena orang tuanya dikirim kesana untuk melaksanakan tugas.
"Tapi Mama harus janji loh, besok pulang." Ucap Felish sembari bersandar di kepala tempat tidur.
"Iya, Mama janji, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Felish's Feel
Teen FictionSatu hal yang Felish tahu tentang persahabatan yang terjalin antara lawan jenis; kebersamaan. Dan ada satu hal yang akan timbul dari kebersamaan yaitu; rasa. ©2017