Three; Target Baru

5.1K 331 12
                                    

Dendam/den-dam/

Adjektiva; berkeinginan keras untuk membalas (kejahatan)

******

"Oh ya? Aku akan dengan senang hati menerima ajakan ini." Pulpen yang berada di genggaman sedang kumainkan untuk mengimbangi rasa bahagia. Senyumku tak henti-hentinya mengembang seperti pucuk bunga yang baru mekar. Segar dan ceria. Aku terkikik mendengar rayuan dari seseorang di seberang sana. "Ah, kamu bisa aja. Em ... bisa. Tapi kemungkinan aku akan datang terlambat. Karena sebentar lagi aku ada jadwal bertemu dengan klien baru. Jadi tidak bisa diprediksi jam berapa pulangnya."

Dari luar ruangan, terlihat Inge sedang berdiri lurus menghadap pintu ruanganku yang terbuka. Mata ikannya bisa dengan bebas menelanjangi segala gerak-gerikku di dalam sini. Seperti biasa, pekerjaannya setiap hari adalah mengintai semua percakapan dan juga gerak-gerikku. Lalu bak koran berjalan, dia menyebarkan semua yang didengar ke seluruh penjuru kantor. Aku merasa seperti artis lokal yang selalu menjadi bahan pembicaraan di jam makan siang. Sebenarnya aku tidak merasa terganggu dengan semua yang mereka bicarakan di belakangku, tetapi aku heran melihat Inge seperti orang yang kurang kerjaan. Padahal permasalahannya sudah cukup banyak: masalah tunggakan kartu kredit yang bejibun, belum lagi tunangan yang suka selingkuh dan kerjaan kantor yang ia lahap semua. Mungkin kaca di rumahnya sudah rusak!

Aku bangkit dari kursi putar untuk berdiri di ambang pintu ruangan. Kusibakkan rambut sepinggang, dan memandang Inge dengan tatapan mengejek. "Beneran aku boleh pilih-pilih sepatu baru?" Kumajukan satu kaki untuk memperlihatkan sepatu baru, tanda perpisahan dari pria yang mendatangiku semalam. Sepatu dengan model statement heels , sanggup merubah arah pandangnya; dari wajah turun ke kaki. "Oke, kita ketemu setelah jam pulang kerja. Nanti aku hubungi lagi. Bye."

Setelah mematikan panggilan, aku melipat tangan dan menatap Inge tanpa jeda. Bertanya tentang tingkahnya yang terlalu iri kepadaku. Inge yang mengerti arti tatapanku langsung mendengus dengan sebuah kekehan. Dia menggulung lembaran kertas, kemudian berjalan ke arahku.

"Mau melacur lagi?" tanyanya.

Aku cuma bergeming.

Bola matanya turun hingga menyentuh kakiku. "Main berapa ronde, sampai dapat sepatu baru?"

Aku mendengus. "Kamu mau jadi sepertiku?"

"Aku nggak mau jadi pelacur sepertimu."

"Oh ... oke. Aku pelacur? Lalu kamu?" Jemari berkuteks transparan menunjuk ke arah Inge. "Calon suamimu bisa memakaimu dengan sesuka hati tanpa membayarmu? Kalau mau jadi pelacur jangan setengah-setengah, Inge."

Wajah Inge menegang setelah mendengar perkataanku. "Aku bukan pelacur. Kamulah yang pelacur, Padma. Aku melakukannya dengan cinta. Itu perbedaan di antara kita."

Kusibakkan surai rambut yang jatuh ke depan. "Sex withouth marriage is the same as selling yourself. What's the difference between you and me? Nothing, Inge."

Inge tertawa miris sambil mengibas-ngibaskan tangan, sepertinya dia mulai kepanasan dengan ucapanku. Memang benar begitu, 'kan? Kalau dia mengatasnamakan seks di luar nikah dengan sebutan cinta, itu munafik. Karena cinta tidak mengumbar nafsu. Cinta adalah bentuk kasih sayang, dan seperti dalam cerita religi lainnya, menikah adalah bukti cinta yang sesungguhnya. Melakukan seks dalam ikatan sakral. Walaupun pernikahan juga tidak luput dari seks, tapi paling tidak sumpah sehidup-semati telah diucap di hadapan Tuhan.

Dan oh astaga, aku lupa satu hal. "Lagi pula, belum tentu tunanganmu seorang yang setia."

Dia tertawa sekali lagi, kali ini dengan bola mata berputar ke atas. "Jangan sok tahu. Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia!"

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang