Nine; It's Begin

4.2K 273 12
                                    

Life is beautiful: its is a gift and it has an expiry date.

*****

Kejutan!

Selama satu minggu berkutat dengan hati yang galau, akhirnya keinginan itu bertaut sudah. Bak gayung bersambut, dia mengamini semua keinginanku tanpa ada sedikit pun pemaksaan. Terkadang jeda adalah senjata yang ampuh untuk memberi ruang berpikir bagi seseorang. Karena di dalam jeda, ada rasa atau keinginan yang terendap, dan cepat atau lambat hal itu akan berkembang. Aku tidak menyangka, di dalam putus asaku, ternyata tersimpan banyak hikmah. Kalau boleh aku berteriak atau berjingkrak, mungkin sudah aku lakukan dari tadi di dalam lift. Akan tetapi, itu tidak mungkin, aku bukan anak kecil lagi, aku wanita dewasa yang berpura-pura kesal dengan Bayu. Seorang wanita yang begitu menyayangi temannya hingga mengorbankan tubuhnya sendiri.

Aku menghabiskan waktu di dalam ruagan dengan senyum yang tidak pernah putus. Otak liar ini sudah membayangkan beberapa rencana, trik, kejadian yang akan datang, wajah kesal Aruna, bahkan posisi yang pas saat bercinta dengan Bayu. Aku menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin, karena pukul tiga sore aku harus segera meninggalkan kantor. Kemacetan kota yang menjadi alsanku untuk berangkat lebih awal. Aku tidak mau terjebak macet, dan mendapat urutan periksa yang terakhir. Dan sekali lagi, keengganan Bu Siska berbiacara denganku memberi keuntungan yang banyak dalam pekerjaan. Aku tidak perlu repot-repot mengetuk pintu ruanganya hanya untuk mendapat izin pulang lebih dahulu.

Sebelum pulang, aku mengirim pesan melalui WA kepada Bayu Aji; memberitahukan bahwa aku akan berangkat sekarang juga. Namun, tiba-tiba dia meneleponku dan menyuruhku untuk menunggu di valet parking. Mendengarnya semakin membuatku bersemangat. Aku bergegas turun dan sekarang sudah berada di halamn depan gedung perkantoran, meninggalakan mobil di lobi parkir. Mobil itu lebih aman disimpan di sana daripada di rumahku sendiri. Sebuah mobil sedan berwarna hitam metalik berhenti di depanku. Satu kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok yang tidak asing, aku pernah menemuinya satu kali.

“Lho kok?”

“Anda pergi dengan saya,” jawab asisten pribadi Bayu.

Oh, I see. Aku bisa memahami maksud Bayu. Dia cukup pintar dalam hal ini, sepertinya dia berbakat menjadi tukang selingkuh. Hanya saja bakatnya itu tidak tereksplor dengan baik, dan melalui tanganku, dia akan menjadi pria yang mahir. Mengkhianati Aruna adalah ujian awal menjadi seorang peselingkuh.
Mobil yang kukendarai mulai melaju meninggalkan gedung perkantoran. Seperti biasa, pemandangan kota di hari menjelang sore tidak berubah; mobil dengan berbagai macam merk dan type berjajar memenuhi jalan raya, motor yang menghalalkan segala jalan, baik celah kecil atu trotoar melaju bak penguasa jalan, dan angkutan umum yang berhenti seenaknya sendiri hingga sukses menimbulkan suara klakson dari kendaraan yang ada di belakangnya. Baru saja keluar dari gedung sudah disajikan pemandanga seperti ini.
Aku hanya terdiam dan mengamati semua yang terjadi di jok bagian belakang. Bisa kurasakan mata asisten pribadi Bayu melirik ke arahku berkali-kali. Keberadaanku seperti sebuah magnet bagi mata pria untuk memandang kemolekan tubuh ini. Sejujurnya cara dandanku tidak terlalu wow, hanya saja bakat memadupadankan baju dengan make up itulah yang membuatku berubah seperti magnet.
“Pak Bayu yang menyuruh saya untuk mendampingi Anda ke dokter spesialis kandungan.”
Mataku hanya melirik sekilas ke arahnya tanpa berucap apa-apa.
“Aku juga disuruh ikut ke dalam ruang periksa.”
“Oke,” jawabku. Apa pun yang diinginkan Bayu akan aku lakukan demi sebuah anak di dalam rahim ini.
“Kenapa Anda bisa seberani ini? Bagaimana kalau Anda hamil anak Pak Bayu?”
Oke, pertanyaan orang ini sudah melebihi kapasitas sebuah privasi seseorang. Dia hanya asisten pribadi, di mana dia harus menuruti semua keinginan atasan tanpa harus memberikan opini pribadinya. Apalagi kepada orang yang baru saja … maksudku dengan orang yang baru bertemu dengannya dua kali. Atau mugkin dia merasa kasihan kepadaku.
“Ini masalahku. Aku tahu langkah apa yang harus kuambil.”
Dia terdiam sejenak, data kulihat matanya menatap lurus dengan pandangan kosong. “Ibu Aruna adalah wanita yang baik, kalau Anda hamil, bagaimana perasannya?”
“Just shut up and it is not your territory!”
Aruna, Aruna, dan Aruna. Wanita busuk itu selalu terlihat baik, padahal dia iblis berbulu domba! Dia ahli dalam tipu muslihat atau berkepala dua. Cepat atau lambat, kebahagiaan yang dia dapat akan aku renggut dari tangannya. Bukankah semua di dalam hidup memiliki nilai kadaluarsa, termasuk kebahagiaan.
Asisten pibadi Bayu langsung terdiam dan kembali berkonsentrasi ke jalanan yang mulai bergeliat padat. Seberapa besarnya Bayu mempercayai orang ini hingga sesuatu yang krusial seperti ini masuk ke dalam telinganya. Jika dia berani menghancurkan rencana yang sudah disusun dengan baik, aku bersumpah akan membuat perhitungan dengan orang ini. Aku bisa melakukan hal apa pun dengan tanganku sendiri.
*****
Butuh waktu seminggu untuk mengetahui semua kesehatan di dalam rahimku. Pemeriksaan melalui obsgyn bisa diketahui hari itu juga, dan semua laporan tentang kesehatanku sudah sampai di tangan Bayu, maksudku asisten pribadinya. Dan ini adalah minggu kedua aku menunggu kabar dari Bayu. Apakah dia sudah melihat hasilnya, atau asisten pribadi itu sengaja menggelapkan hasil pemeriksaanku untuk melindungi Aruna. Jika dia melakukan hal itu, berarti dia sedang menantang orang yang salah. Dia terlalu innocent dalam menilai seseorang. Tidak semua perempuan lemah!
Seperti sebuah kebiasaan, tanganku selalu terulur untuk meraih ponsel dan melihat notifikasi. Apakah ada pesan dari Bayu? Bagaimana kelanjutan hubungan kami? Atau hasil yang keluar tidak memungkinkan diriku untuk hamil? Risau ini terus merundung hingga membuat semua selera melorot drastis. Bahkan hal itu sanggup berpengaruh dalam hal merawat diri; aku malas pergi ke salon untuk membersihkan wajah, tubuh dan juga rambut—aku hanya keramas di rumah. Mungkin dengan kejadian ini bisa membuatku belajar, bahwa ditolak atau menunggu kepastian itu tidak enak. Jadi, kalau ada pria lain yang medekat siapa pun itu—tidak termasuk orang miskin, aku akan memberi kepastian secepatnya. Karena PHP itu sungguh meresahkan!
Pukul lima sore, waktunya untuk pulang. Sebaiknya sebelum pulang aku harus pergi ke salon untuk merawat diri. Persetan dengan keputusan Bayu nantinya, yang jelas aku nggak mau tubuh ini terlihat dekil di hadapan pria lain. Ngomong-ngomong soal pria lain, aku jadi teringat Radit. Makhluk satu itu sangat tega denganku, hingga saat ini dia tidak menghubungiku. Baiklah kalau begitu, dia akan aku kejutkan dengan sedikit kebohongan.
Setelah menekan satu nomor, aku langsung menempelkan ponsel ke telinga. Pada dering ke lima Radit mengangkat panggilanku.
“Halo, Sayang,” sapaku dengan nada paling manja. Terdengar suara decak kesal dari Radit. “How are you? Kamu sedang memberiku hukuman, hum?”
“Menjijikkan!” umpatnya.
Aku langsung tergelak. Kursi putar itu kuputar dengan pantat hingga menghadap jendela kaca. Pemandangan sore mendominasi pengelihatanku, hamparan langit keabu-abuan terlihat sejuk dari tempat ini. “Bagaimana persiapan pernikahanmu?”
“Lancar,” terdiam sejenak, “Padma, maafkan aku atas peristiwa beberapa minggu yang lalu. Kamu tahu….”
“Tenang saja. Aku bukan wanita labil lagi. Berbahagialah dengan Una, dan sebenarnya aku ingin berbincang santai dengannya, tapi aku rasa … you know-lah!”
“Slow but sure, it will be happen.”
“Hopefully,” terdiam sejenak, “aku punya satu kabar yang harus kamu tahu. Meskipun nggak penting, tapi sebagai sahabat, you should know. Aku mulai menjalin hubungan dengan Bayu.”
Tidak terdengar suara apa pun dari Radit, bahkan deru napas pun juga senyap. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya sekarang, dan yang bisa kulakukan adalah menunggu suaranya menggema melalui ponsel.
“Are you there?” tanyaku.
“Padma … entah untuk keberapa kalinya aku memperingatkanmu, tapi sepertinya itu hal yang sia-sia. Aku tahu bagaimana rasa sakit itu … kalau bagimu dengan melakukan hal ini bisa membuatmu bahagia. Do it. Tapi satu yang aku minta, jangan pernah menyesal.”
Menyesal? Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, dan aku juga tidak tahu hal apa yang bisa disesali dari perbuatan ini. dengan kehadiran seorang anak bisa membuatku menyesal? Tidak, kali ini aku tidak akan menyesal jika harus hamil lagi. Sekali pun aku tidak mendapatkan Bayu dengan keadaan hamil, aku tetap senang karena bisa melihat wajah Aruna yang tersakiti. Kali ini kehamilan bukan suatu momok yang besar. Lagipula, aku bisa mempunyai keturunana yang akan merawatku nanti sehingga aku tidak butuh pria di dalam hidup. Atau … jangan-jangan bagi Radit, menyesal itu ….
“Tenang saja, aku nggak akan merepotkanmu.” Ya … aku rasa itu yang dipikirkan Radit.
“Padma, ini bukan perkara merepotkan! Meskipun aku mempunyai Una, tapi bukan berarti kehadiranmu yang penuh masalah itu merepotkanku. Aku sudah menekankan kepadamu berkali-kali, hiduplah bahagia. BAHAGIA!” Nadanya terdengar begitu tinggi, dia pasti marah denganku. “Sudahlah, terserah kamu. Aku sibuk. See ya….” 
Radit langsung memutus panggilan. Aku hanya bisa terperangah dan memandangi ponsel yang meredup. Mungkin dia sedang stress memikirkan persiapan pernikahan, jadi ucapan seperti itu bisa menyinggungnya. Terlalu sensitif!
Sudahlah, memikirkan Radit seperti itu membuatku semakin pusing. Lagipula dia sudah punya Una yang bisa memperbaiki mood. Dan mengenai hubunganku dengannya … bisa diperbaiki kapan-kapan, dia tidak pernah berlama-lama dengan amarahnya. Aku bangkit dari kursi, tetapi sebuah dering ponsel membuatku terpaku untuk beberapa saat. Jantngku berdetak ketika melihat nama dari penelpon itu. Rentetan spekulasi tengah mencecar otak yang setengah labil ini, menimbulkan kemungkinan buruk saat menerima telepon ini.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tanda hijau di layar tipis. “Halo,” jawabku. Orang di seberang sana mulai angkat bicara dengan nada yang sangat gugup, dan hampir membuatku cekikikan. Akan tetapi, aku cukup waras untuk tidak melakukan hal itu. “Malam ini tentu saja bisa. Aku akan ke sana. Sampai jumpa.”
Tepat setelah mematikan panggilan itu, aku langsung melonjak dari posisi, kedua taganku mengepal dan yes … I get him!

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang