Four; Celah

4.2K 290 19
                                    

Nikmati hidup di atas awanmu itu, hingga kau tidak menyadari bahwa selalu ada celah bagi musuhmu untuk menyerang.
~Padma~

*****

Kitten heels atau chunky?

Dua sepatu yang ada di hadapanku ini sama-sama membuat air liurku keluar. Kitten heels berwarna biru tua dengan ukuran low heels ini terbuat dari bahan satin yang dihiasi gambar bunga-bunga cantik dan sanggup menyita perhatianku. Sepatu ini sangat cocok dipakai saat bekerja, aku bisa sangat lincah jika memakai sepatu ini. Sedangkan chunky juga tidak kalah bagusnya. Chunky ialah sepatu dengan bentuk tumit yang tebal-mulai dari seat heels hingga top heels-dan melebar mengikuti bagian belakang. Sepatu ini juga tidak kalah keren; terbuat dari kulit asli dengan sling back yang bergesper, dan tali di bagian depan. Aku belum punya sepatu dengan model seperti ini, lagi pula koleksi sepatu chunky-ku juga tidak begitu banyak.

"Jadi ambil yang mana?" Pria bermata kecil, rambut sedikit gondrong, dan perut yang lumayan buncit itu membuyarkan lamunan.

Kuangkat pandangan kemudian menoleh ke arahnya dengan sebuah senyuman. "Aku ambil yang ini." Tanganku merih sepatu berwarna biru tua.

Yap, aku memilih kitten heels. Aku lebih memilih sepatu dengan model yang cukup banyak menghiasi rak dibandingkan satunya. Karena apa? Karena sepatu yang kupilih lebih mahal. Aku bisa membeli sepatu chunky dengan uangku sendiri. Rugi, dong, kalau aku beli sepatu murah sedangkan ada orang yang sudi membelikan sepatu dengan harga mahal. Manfaatkan peluang yang ada, oke?
Dia meraih sepatu yang aku sodorkan.

"Yakin ambil yang ini?"

Aku mengangguk dengan kerlingan mata. "Ukuran 39."

Pria bernama Wibowo itu mengalihkan pandangan ke arah penjaga toko. "Bisa tolong ambilkan?"

Wanita penjaga toko itu langsung melenggang pergi menuju pintu yang berada di area belakang kasir. Jangan tanya betapa gilanya aku pada sepatu. Aku sendiri juga tidak tahu kegemaranku dengan sepatu berawal dari apa. Yang jelas, setelah aku melewati masa-masa suram itu, aku sangat gandrung dengan benda satu ini. Di rumah, lebih tepatnya walking closet, ada tiga rak sepatu dengan tinggi yang menyamai lemari baju, belum lagi rak yang berada di ruang tamu. Semua rak-rak itu terisi penuh oleh sepatu dengan berbagai model dan tipe. Aku tidak pernah menghitung jumlah sepatu yang ada di rumah, karena hal itu hanya akan buang-buang waktu. Lebih baik mengumpulkan sepatu sebanyak-banyaknya dan membuangnya jika sudah usang.

Ya ... mungkin koleksi sepatuku ini bisa menyaingi koleksi sepatu Imelda Marcos, janda dari Ferdinand Marcos, presiden ke sepuluh Filipina. Wanita itu sama denganku; penggila sepatu. Dia sering menghamburkan uang untuk membeli sepatu dengan harga tinggi sehingga hobinya itu sanggup membentuk kesenjangan sosial di masyarakat Filipina yang notabene masih hidup dalam garis kemiskinan. Aku tahu apa yang ia rasakan saat melihat sepatu dengan model bagus dan juga mahal karena benda ini sama seperti narkoba yang bisa menimbulkan kecanduan. Sangat sulit bagiku untuk menghilangkan kebiasaaan ini. Terkadang aku hampir berpikiran gila saat melihat sepatu dengan label limited edition. Aku hampir saja membeli sepatu mahal yang memiliki ukuran sangat kecil. Akan tetapi, aku masih waras. Aku tidak jadi membei sepatu itu.

"Sepertinya kamu suka dengan sepatu?" tanya Wibowo.

"So much."

Dia tertawa lirih. "Aku harap sepatu ini bisa menggantikan sepatumu yang rusak."
"Tentu saja. Aku tidak mengira kalau aku akan bertemu dengan orang sebaik kamu." Aku terdiam sejenak untuk mencari topik pembicaraan lain. Semacam interogasi. "Jadi, habis ini kamu mau ke mana? Jemput anak?"

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang