Gorilya; Pencuri,maling, pencoleng.
*****
Holiday!
Pintu kaca yang memisahkan taman dengan kamar tidur terbuka lebar, mempersilakan angin bermain-main dengan helaian gorden yang menyapu lantai kayu. Semilir udara pagi yang mulai menghangat menyelinap masuk dan memenuhi kamar yang sangat luas. Lampu nakas yang masih menyala kalah terang dengan sinar mentari dari luar. Pintu kamar mandi yang menyatu dengan ruang tidur itu terbuka dengan lebar.
Aku dan Bayu sedang berada di dalam kamar mandi, di depan wastafel, melupakan air di dalam bath up yang sudah meluap-luap hingga membasahi lantai kamar mandi. Tawa kami menderai memenuhi kamar mandi berukuran 4x5 ini. Lagu dari manca negara yang berputar lewat ponsel mengiringi keceriaanku bersama Bayu pagi ini.
Ritual setiap pagi, selama lima hari di sini adalah mandi bersama. Namun, kali ini kami masih bersenang-senang di depan wastafel, karena aku sedang mencukur cambangnya. Tangan lentikku mengoles krim berwarna putih dengan gerakan perlahan seolah-olah tengah menggodanya. Bayu hanya terkekeh, dan semakin mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Sentuhan terakhir berhenti di bagian rahang, kemudian dia menunjukkan senyuman licik. Kepalaku menggeleng dengan penuh curiga, dan ternyata benar, dia mengoleskan krim itu ke wajahku dengan dagunya.
Seperti itulah keceriaan yang aku lalui dengan Bayu. Dia adalah pria yang pandai merubah suasana; terkadang mellow, terkadang lucu dan terkadang menyebalkan. Sudah hampir satu minggu kami berada di Bali, di vila milik Bayu. Vila yang memiliki luas tanah satu hektare ini dibangun mirip rumah-rumah di Bali. Aku bisa melakukan apa pun di sini karena semua yang aku butuhkan sudah tersedia. Kami hanya pergi ke luar di sore hari untuk menikmati sunset, dan menghabiskan separuh malam dengan menelusuri jalanan di Bali. Selanjutnya, kami habiskan di dalam vila, terkadang Bayu menangani pekerjaannya di pagi hari dengan aku yang berada di dekapannya.
Bisa dilihat dengan jelas perbedaan Bayu yang dulu dengan sekarang. Secara emosional dia tetaplah Bayu yang aku kenal saat pertama kali kami menjalin hubungan, tetapi Bayu yang sekarang lebih cerewet dan manja. Sedangkan secara fisik, dia terlihat jauh berbeda, tubuhnya semakin subur, dalam artian perutnya terlihat membuncit. Bayu yang dulunya gemar olahraga di gym sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanya Bayu yang gemar berolahraga di atas tempat tidur. Bisa dibayangkan betapa malasnya dia saat berada di sampingku. Dan satu lagi, wajahnya terlihat lebih tampan dari biasanya.
Dinner.
Setelah bersenang-sennag di dalam vila layaknya pengantin baru—bukan berarti kami bercinta sepanjang hari, kami memutuskan pergi ke sebuah restoran yang berada di daerah Jimbaran. Jimbaran sudah cukup terkenal sebagai spot terindah untuk makan malam di tepi pantai. Bayu mengajakku ke sebuah restoran yang berada di dalam resort, di mana restoran itu memiliki beberapa gazebo yang menghadap ke bibir pantai, dan terdapat kolam buatan sebagai pembatas. Pohon-pohon kelapa berjajar di sepanjang jalan setapak yang menuju gazebo. Suara tawa, dentingan sendok dengan piring, desir angin, dan suara ombak semakin menambah indah malam tak berbintang di Jimbaran.
Bayu menyentuh lembut punggung terbukaku sebelum melingkarkan tangan ke pinggang saat kami berjalan menuju gazebo yang sudah di pesan. Tubuh berbalut dress backless selutut sanggup mencetak perut yang sudah menginjak bulan kedua di masa kehamilanku. Akan tetapi, ada yang membuatku tidak nyaman, yaitu kaki yang hanya memakai sandal japit. Semua ini karena Bayu yang melarangku memakai sepatu ber-heels, sekalipun itu kitten heels, dan aku tidak punya koleksi sepatu atau sandal yang tidak ber-heels. Sedangkan Bayu, dia masih terlihat berkelas dan tampan, meskipun hanya memakai kaos dan celana pendek berwarna hijau tua. Aku merasa seperti seorang pembantu yang menemani majikan makan siang, apalah arti baju seksi tanpa sepatu yang menawan.
Kami duduk bersebelahan, dia tetap memegang pinggangku sambil melihat langit dan air laut yang tidak memiliki garis pembatas. Angin memainkan anak rambut yang sengaja tidak kusatukan dengan ikatan rambut cepol, hal itu membuat tangan Bayu menyelipkan helaian rambut ke daun teliga berkali-kali. Aku hanya tertawa melihat sikapnya yang begitu telaten dan tidak ada bosannya. Tidak ada yang tidak indah saat orang sedang jatuh cinta, buktinya dia terus memuji keindahan hidungku yang ujungnya mulai membengkak. Oh God, wajah ini seperti badut.
Malam ini akan kujadikan malam yang paling indah bagiku dan Bayu. Aku memiliki satu kejutan untuk Bayu, dan berharap kejutan itu semakin menambah rasa cintanya kepadaku. Meskipun nantinya akan ada sedikit drama, tetapi bisa kupastikan dia semakin jatuh hati. Jemariku bermian-main di rahang tegas miliknya, hingga membuat dia mengerang dan menggigit ujung jariku.
"Kamu manja sekali hari ini."
Aku hanya tertawa. Tentu saja, karena aku harus membuatmu menggelayut mesra di tubuhku.
Dia mencondongkan kepala, dan mencium bibirku sekilas. Aku membalas ciumannya dengan lidah, karena aku tidak mau kehilangan ciuman itu. Isyarat itu membuat Bayu semakin memeperdalam ciumannya, dan bermain-main di dalam mulutku.
"Bayu!"
Gerakan bibir kami terhenti ketika mendengar suara yang sudah kuperkirakan datangnya. Bayu sontak melepas ciuman dan menoleh ke sumber suara. Aku berpura-pura menyembunyikan wajah di balik punggung, tetapi tiba-tiba sebuah tangan menarik bahu hingga aku berputar ke belakang. Mulut aruna menganga lebar, dan matanya sudah digenangi oleh air. Sedangkan aku? Aku hanya memasang ekspresi ketakutan dan bersalah. Ingat, itu hanya ekspresi jika berada di hadapan Bayu.
"Padma?" Tepat setelah dia menyelesaikan desisan, sebuah tangan mendarat hebat di wajahku.
Aruna menamparku. Wow, tangannya sangat luar biasa.
"ARUNA!" Bayu langsung bangkit dan mencekal tangan Aruna. Aku hanya memegang pipi dengan kepala menunduk. "Kamu nggak pantas menamparnya!"
Wow, baru kali ini aku melihat Bayu marah. Lewat sudut mata, aku bisa melihat wajahnya yang memerah dan matanya mendelik tak keruan. Dia tidak pernah memasang wajah marah seperti itu di hadapanku.
"Kenapa? Aku berhak karena aku istrimu, dan dia...." Jemarinya menunjuk ke arahku. "Dia yang merebut suami temannya sendiri!"
Tulang rahang Bayu terlihat menonjol. "Dia nggak merebut dari siapa pun. Aku mencintainya dan dia sedang mengandung anakku!"
Tubuh Aruna terhuyung saat mendengar perkataan Bayu. Bibirnya tidak sanggup berkata-kata.
"Iya, aku menjalin hubungan dengan dia sudah lama, dan sekarang dia mengandung anakku. Aku sudah menceraikanmu dan tinggal menunggu kabar dari pengacara."
Tangis yang disertai teriakan mulai diluapkan Aruna. Bibirnya meneriakkan kata tidak mungkin berkali-kali. "DASAR PENCURI!"
Teriakannya membuat hampir seluruh pengunjung di sini menoleh ke arah kami. Lihatlah, sisi iblisnya mulai muncul, dan aku senang melihat tangis penuh amarah itu. Seperti inilah rasa sakit yang kurasakan dulu, Aruna.
"Aruna...." Aku berdiri dan mencoba meraih tangan Aruna.
"Jangan pernah menyentuhku!"
"Tolong dengarkan aku dulu." Air mata palsuku mulai menetes.
Bayu tiba-tiba merengkuh bahu dan mendekapku. "Pergi dari sini, sekarang!"
"Kalian brengsek!" Aruna langsung berlari pergi dengan derai air mata.
Aku berpura-pura berontak dari pelukan Bayu dengan sebuah tangis. "Aruna...."
Bayu semakin erat mendekap tubuhku.
"Lepaskan aku, Bayu. Aku harus menjelaskan semua pada Aruna."
"Nggak ada yang perlu dijelasin. Dia nggak berarti apa-apa lagi bagiku." Bayu merenggangkan pelukan, badannya sedikit membungkuk, dan mulai menghapus air mataku. "Jangan pernah merasa bersalah, karena dalam hal ini, akulah yang salah."
Aku menoleh ke arah perginya Aruna, dan betapa terkejutnya aku saat melihat sosok asisten pribadi Bayu berdiri di ujung jalan sana. Untuk apa pria sialan itu berada di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Woman [Terbit Indie]
Literatura FemininaBacaan untuk 17+ memiliki content untuk orang yang telah berpikir dewasa! ******* Dua kata yang mencerminkan seorang Padma Daneswari; cantik dan seksi. Seorang wanita yang berkarier sebagai shoes stylist ini memiliki hobi gila; penggoda suami orang...