Fourteen; Superman

3.4K 345 45
                                    


I'm only one call away. I'll be there to save the day.

Superman got nothing on me. I'm only one call away.

~One Call Away-Charlie Puth~

*****

"Jangan terlambat makan siang. Soal kerjaan bisa nanti-nanti."

Aku menghela napas panjang saat mendengar dengungan suaranya lewat panggilan telepon. Waktu masih menunjukkan pukul sebelas siang, dan dia sudah meneleponku sebanyak enam kali. Menanyakan hal yang remeh-temeh, dan melarang melakukan ini-itu.

"Iya. Bisa tutup teleponmu sekarang juga? Aku mau melanjutkan pekerjaanku."

"Atau aku perlu meminta izin kepada Bu Siska untuk memberi waktu khusus kepadamu. Lagipula, kamu sedang ada proyek dengan perusahaanku, jadi kamu bisa mengerjakannya di rumah."

"Bayu, I'm fine. Aku sedang tidak sakit parah!" Suaraku melirih, tetapi penuh dengan penekanan.

"But, I'm worried...."

"I'm okay. Tolong jangan telepon aku lagi sampai pukul lima."

Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Padma ... banyak sekali yang aku khawatirkan hari ini."

"Kita bicarakan nanti malam. See ya...."

"Wait." Aku mengurungkan niatan untuk menutup panggilan ini. "I love you."

"Bye," ucapku tanpa membalas ucapan penuh makna darinya.

Mungkin ini adalah efek dari perubahan tubuhku, sehingga ada sesuatu yang menghangat di dalam dada saat mendengar ucapannya. Dan dengan tidak membalas ucapannya, sudah cukup untuk menyugesti diriku bahwa dia bukan apa-apa di dalam hidupku. He's nothing!

Sikap berlebihannya ini berawal dari sebuah kenyataan istimewa yang baru diketahui semalam. Karena kesibukan, aktivitas dan kesenangan bersama Bayu, membuatku lupa akan jadwal datang bulan. Yap, I'm pregnant.

Saat menyadari bahwa sudah dua minggu aku tidak datang bulan. Bayu langsung pergi ke apotek yang berada di sekitar apartemen untuk membeli testpack. Aku menghabiskan malam di dalam pelukan Bayu tanpa bercinta sama sekali. Kali ini dia pandai mengontrol hasratnya, atau dia sudah tahu kalau menguji kehamilan tidak diperbolehkan berhubungan badan agar hasilnya lebih akurat. Yang jelas, dia memperlakukanku selembut mungkin.

Pagi-pagi sekali dia membangunkanku untuk melakukan tes dengan alat yang dibelinya. Dan ternyata benar perkiraanku, ada dua garis merah yang muncul dari alat penguji kehamilan. Dia langsung memelukku dengan erat setelah melihat hasil tes itu, memberi ribuan ciuman di seluruh tubuh, kemudian ciuman itu berhenti di perutku yang masih terlihat ramping.

"Aku akan menjadi Ayah," desisnya.

Aku bisa melihat binar bahagia dari pancaran matanya. Seperti inikah ekspresinya ketika mengetahui benihnya sukses melakukan perjalanan jauh untuk menembus ovarium? Dan seperti inikah ekspresi seorang suami ketika mengetahui istrinya hamil? Suami? Dia bahkan bukan suamiku.

Lihatlah Aruna, sebentar lagi kebahagiaanmu akan aku ambil. Secepat mungkin akan aku lihat wajah kecewamu, seperti kamu melihat wajah kecewaku dulu. Dan lihatlah, bahkan semesta turut berkonspirasi dalam menciptakan skenario ini.

*****

Kehamilanku kali ini berbeda dengan kehamilan yang pertama. Aku sering merasakan mual dan pusing di kehamilan pertama, padahal saat itu aku sedang menghadapi Ujian Akhir Naional. Bisa dibayangkan betapa sengsaranya diriku: aku harus menyembunyikan kehamilan itu dari orangtua, berpura-pura senormal mungkin di hadapan teman-teman dan mengatasi mual yang melanda di setiap pagi. Kalau saja tidak ada Radit saat itu, mungkin aku sudah dihajar habis-habisan oleh orangtuaku, dan mungkin kehamilanku akan terkuak tanpa berani mengungkapkan siapa pria yang menghamiliku.

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang