Six; Klandestin

4.1K 282 21
                                    

Klandestin /


Adjektiva; Secara diam-diam, secara rahasia.


*****



Senin yang super sibuk. Aku mendengar Bu Siska sedang melakukan sidak di kubikel-kibukel karyawan yang berada di tengah-tengah ruangan. Suaranya yang lantang merembet jelas hingga memekakkan telinga, dia sedang membuat sistem baru terhadap keuangan dan pengadaan barang. Mendengar segala rentetan kata itu membuatku yakin tentang ekspresi orang-orang yang ada di sana. Mereka, termasuk aku, kesal dengan Bu Siska yang selalu merubah-rubah sistem dalam bekerja. Dia tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan ini dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Lagi pula, sistem yang ia terapkan tetap tidak akan meringankan pekerjaannya jika tetap berakhir di atas mejanya. Orang ini begitu antik dan takut sekali kehilangan perusahaan yang baru berkembang ini. Terkadang meletakkan kecurigaan terlalu besar dapat memicu penuaan dini, contohnya; dia.

Sementara Bu Siska sibuk dengan teman-teman yang lain, aku sendiri juga sibuk dengan desain sepatu yang akan ditunjukkan kepada pemesannya malam ini. Pertemuan yang kusengaja dan perbicangan hari Minggu itu membuahkan hasil yang sempurna. Bayu memintaku untuk menunjukkan desain sepatunya hari ini, hari Senin. Rentang waktu dua hari untuk mengerjakan desain berubah. Akan tetapi, semua tidak masalah, karena aku sudah mempunyai konsep sejak pertama kali melihat biografinya. Rencana yang kurancang kemarin membuahkan hasil, ditambah lagi kejujuran tentang keterkaitanku dengan Aruna. Bayu merasa senang karena bertemu dengan teman sekolah Aruna, dan aku berani jamin kalau Aruna tidak akan senang jika bertemu denganku.

"Sebelum bertemu Pak Bayu tunjukkan desainmu ke ruangku terlebih dahulu."

Aku langsung mendongakkan pandangan ketika suara Mak Lampir itu membumbung di dalam ruangan. "Saya tahu," jawabku enteng, "sebentar lagi selesai, jadi tunggulah di ruangan."

Dia hanya mengangkat kepala angkuh kemudian memutar tubuh untuk keluar dari ruangan. Aku kembali berkutat dengan gadget untuk menyelesaikan desain dan setelah itu menyiapkan contoh bahan yang akan dipakai. Dari pertama kali masuk, aku tidak pernah memanggil dia dengan sebutan Bu atau semacamnya untuk menghormatinya. Aku hanya berbicara ke pokok permasalahan tanpa menggunakan kata ganti orang. Namun, dia sama sekali tidak protes, mungkin dia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu atau dia yang enggan berbicara panjang lebar denganku.

Setelah berkutat dengan persiapan untuk dipresentasikan kepada Bayu, aku langsung memacu kendaraan menuju tempat yang telah ditentukan. Tepat pukul empat, mobil miniku keluar dari gedung, membelah jalanan yang padat dan bising oleh suara klakson mobil. Orang-orang yang hidup di tengah kota selalu tidak sabaran; sudah tahu jalanan padat, tetapi masih saja membunyikan klakson. Kalau mereka merasa terburu-buru, kenapa tidak berangkat lebih awal. Sinar jingga mengambang di antara deretan benda-benda berplat baja dan juga orang-orang yang berani berlalu-lalang menembus dirinya. Sinar itu lebih terasa menyengat jika hari mulai menuju petang. Langit putih semburat merah terlihat jelas di sisi sebelah kananku. Sejenak aku menantang sinar itu untuk melihat keindahan langit di penghujung sore. Terkadang, kita perlu berkorban lebih banyak untuk menikmati sebuah keindahan. Hal itulah yang aku pikirkan saat ini, tidak ada salahnya berkorban demi sebuah kesenangan yang tidak pernah kudapat sebelumnya.

Tepat pukul setengah enam, mobilku sudah terparkir di lantai atas sebuah gedung tingkat tinggi. Bayu yang menentukan tempat pertemuan kami. Dia merasa perlu tempat yang indah untuk menangkap keindahan desain dariku, itu yang ia ucapkan kemarin. Restoran pilihan Bayu adalah restoran bertema roof top yang terletak di pusat kota. Waktu yang ia pilih juga sangat tepat, di hari menjelang malam; di mana kita bisa melihat langit senja yang sangat singkat, dan perlahan diganti oleh kerlip polusi cahaya di sekeliling gedung. Aku merasa ini seperti sebuah kencan terselubung. Akan tetapi, tidak ada satu kesan darinya yang menunjukkan bahwa dia mulai tergoda olehku. Tatapan matanya sungguh berbeda dari pria-pria yang pernah aku kencani. Dari gaya bicara, lelucon, ekspresi dan tatapan matanya seperti menjukkan bahwa aku adalah temannya, tidak lebih. Mungkin pembawaanku yang terlalu santai membuatnya nyaman. Dan kalian tahu sendiri, sebuah hubungan yang lebih dalam dimulai dari kenyamanan.

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang