Don't you worry about me, okay?
I'm gonna find a way to hang around here and annoy you for a long time.
*****
SMA Baruna, 2000
"Ya, gimana caranya, dong! Masa deketin cewek culun kayak gitu kamu nggak bisa!"
"Bukannya aku nggak bisa, Aruna. Aku takut kalau.... "
"Kalau nantinya kamu jatuh cinta sama dia?!"
Cowok bermata bulat itu mendesah resah. Ada sebuah keraguan yang terus membayanginya. Langkah yang baru setengah ia ambil itu hampir menyita seluruh rasanya kepad Aruna. Semua ini salah, semua ini tidak pada tempatnya dan dia tahu benar. Namun, dia bisa apa?
Aruna memotong jarak di antara mereka, matanya menyipit tajam. "Ingat, kalau kamu cuma cinta sama aku, Husein. Padma hanya sarana pembuktian cintamu padaku. Buat dia jatuh sejatuh jatuhnya. Aku nggak mau Papa menghukumku karena aku nggak bisa dapat nilai paling bagus di UN nanti!"
Seorang cowok memakai kacamata tebal berdiri di luar ruang Osis dengan tangan gemetar. Entah sejak kapan dia memata-matai pergerakan seseorang yang hendak menghancurkan idolanya. Semua orang di dunia ini pasti mempunyai idola, tidak terkecuali cowok berkacamata tebal itu. Dia begitu mengidolakan cewek terpandai di sekolah ini. Baginya cewek itu bukan hanya sekadar pandai, tetapi juga baik hati. Dia sangat berterima kasih kepada orang itu karena telah membangkitkan rasa percaya dirinya.
Aruna keluar dari ruang Osis. Langkahnya terhenti ketika menemukan seseorang berdiri di sana. "Kamu nguping?"
Cowok itu menoleh dengan wajah pucat dan gelagapan. "Aku baru aja lewat."
"Awas kalau kamu nguping!" Mata melotot Aruna langsung mengerjap. Wajah penuh amarah itu sekejap berubah berseri-seri. "Padma!"
"Kamu di sini rupanya." Padma menoleh ke arah cowok itu. "Sama Radit?"
Radit menggeleng berkali-kali. "Oh, eng-enggak. Aku cuma kebetulan lewat. Permisi."
"Dit, jarimu udah baikan?" Padma teringat jemari Radit yang cedera hingga cowok itu memutuskan untuk tidak bermain piano.
Radit memutar tubuh menghadap mereka. Kepalanya mengangguk. "Makasih, ya." Dia melambaikan jemari, menunjukkan bahwa dia sudah baikan.
Padma hanya mengacungkan jempol dengan senyum lebar.
Kebaikan inilah yang membuat Radit terus membuntuti sahabat baik Padma, Aruna. Dia menaruh curiga dengan sikap penuh kepalsuan Aruna. Ternyata semua kecurigaan yang membumbung tinggi itu terbukti hari ini. Dia menguping seluruh pembicaraan aruna dengan Husein. Akan tetapi, dia bisa apa? Radit tidak begitu dekat dengan Padma. Dia takut kedekatannya malah dianggap aneh oleh Padma. Bukan hanya itu, Radit juga tidak mau dicap sebagai tukang fitnah oleh Padma.
Posisi radit bagai memakan buah simalakama, serba salah. Dia tidak mau Padma terluka, tetapi dia juga tidak mau kalau Padma membencinya hanya karena dia telah menguping pembicaraan sahabatnya.
*****
Tahun 2017.
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya saat melihat lirikan sinis Bu Siska di dalam mobil. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju kantor Bayu. Hari ini adalah hari di mana Bu Siska menandatangani kontrak untuk pembukaan gerai di department store milik Bayu. Sebuh gerai yang dibicarakan Bayu tiga minggu yang lalu, di kota Bali.
Sejak Bu Siska menerima kabar itu, dia berkali-kali melontarkan pertanyaan yang menyudutkanku. Dia mencurigai kalau aku merayu Bayu dengan kemolekan tubuhku. Namun, aku berkali-kali mengelak atas tuduhannya. Kalaupun aku merayu Bayu itu karena tujuan lain, aku tidak pernah menggunakan tubuh demi mendapat prestasi di bidang pekerjaan. Semua murni karena usahaku sendiri.
Mobil milik Bu Siska sudah memasuki loby parkiran sebuah departement store terbesar di kota ini. Mobil Bu Siska melaju menaiki lantai paling atas dari gedung ini. Tidak sedikit mobil yang keluar-masuk dari tempat ini, padahal hari ini adalah hari kerja dan di jam kerja juga. Bagi pemuja hendonisme, tidak ada hari kerja, semua hari sama yaitu hari libur. Sedangkan aku? Aku memilih hidup yang seimbang; siang waktunya bekerja, dan malam waktunya bersenang-senang. Bukankah sesuatu yang seimbang bisa membawa kebaikan untuk diri kita?
Aku dan Bu Siska turun dari mobil setelah sampai ke lantai yang dituju. Kami berjalan beriringan hingga memasuki ruangan dengan pendingin yang cukup tinggi. Seorang petugas keamanan menyambut kedatangan kami, mengantar kami ke resepsionis untuk meminta izin. Setelah petugas resepsionis itu menelepon, kami diantar oleh security menaiki lift untuk menuju ke lantai tiga dari ruangan khusus ini. bentangan karpet beludu warna cokelat tua menyambut kaki kami yang baru keluar dari pintu lift. Petugas security menyampaikan kedatang kepada asisten pribadi Bayu yang sedang sibuk dengan beberapa dokumen. Aku menyapanya dengan senyuman berkadar gula tinggi di balik bahu security itu. Dia hanya melengos dan mengalihkan pandangan kepada Bu Siska, sepertinya dia tidak menyukaiku.
"Silakan tunggu sebentar." Tangannya menunjuk ke arah sofa yang terletak di seberang mejanya.
"Terima kasih," ucap Bu Siska sembari melangkah menuju sofa yang ditunjuk asistennya.
Aku mengikuti Bu Siska dengan duduk di sampingnya. Sesungguhnya aku kesal dengan sikap asisten pribadi Bayu. Aku kira dia orang yang tidak mau ikut campur urusan atasannya, tapi ternyata dia lebih perasa daripada diriku. Atau ... jangan-jangan dia cemburu karena melihat kedekatanku dengan Bayu. Bisa saja, 'kan?
"Kamu berniat untuk menggodanya?"
Perkataan Bu Siska sukses membuatku mendelik.
Bu Siska hanya mengangkat kepala angkuh tanpa memandangku. "Aku harap kamu nggak bermain-main dengan orang-orang di sekitar Pak Bayu karena mereka adalah rekan kerja perusahaan kita. Dan jangan pernah berpikir untuk merebut Pak Bayu dari Bu Aruna, asal kamu tahu, orangtua Bu Aruna adalah pemegang saham tertinggi di perusahaan ini. Apalah arti Pak Bayu tanpa adanya dukungan dari pemegang saham?"
Aku hanya melengos menanggapi perkataan Bu Siska. Aku sudah mendengar semuanya dari Bayu tanpa ada yang ditutupi; tentang bagaimana Bayu begitu menjaga tingkah lakunya di depan Aruna, di depan khalayak umum, dan juga di depan orangtuanya. Sebenarnya yang tersiksa di sini adalah Bayu, karena demi cintanya kepada orangtua, dia rela mengorbankan kebahagiannnya sendiri. Ck ck ck, Aruna kamu memang iblis!
Asisten pribadi Bayu sudah keluar dari ruangan dan mempersilakan kami untuk masuk. Aku berjalan mengekor di belakang Bu Siska sambil tersenyum ke arah pria itu. Aku tidak peduli meskipun dia tidak menanggapi sikap ramahku. Dan tiba-tiba, langkahku seperti terpaku di ambang pintu saat melihat satu orang lagi di ruangan itu. Tubuh mungil berbalut dress biru muda selutut, rambut ikal bergelombang di bagian ujung dan mata bulat yang menyiratkan kelembutan tengah duduk di samping Bayu. Bisa kupastikan tangan dan kakiku gemetar melihat orang itu; Aruna.
Seperti sebuah adegan slow motion, senyumnya tiba-tiba luntur saat matanya bersirobok dengan mataku. Aku bisa melihat ketegangan dari wajahnya yang mulai memucat, pupil matanya membesar dan mulutnya sedikit menganga. Mungkin dia merasakan keterkejutan yang sama dengan diriku. Aku ... hanya tidak menyangka kalau akan bertemu dengan Aruna secepat ini tanpa melakukan persiapan apa pun.
Bayu bangkit dari posisi saat mataku menatapnya penuh tanya. Senyumnya mengembang tanpa dosa dan melihat kami secara bergantian. "Surprise!"
Benar! Ini benar-benar kejutan yang luar biasa darimu Bayu. Terima kasih!
Bu Siska menoleh ke arahku dengan tanda tanya. Aku langsung mengembangkan senyum untuk mencairkan kekakuan yang hanya dirasakan olehku dan Aruna.
"Long time no see, Aruna." Aku berjalan mendekati Aruna yang masih duduk kaku di tempatnya sambil merentangkan tangan. Tubuhku sedikit membungkuk untuk memeluk Aruna. "Kamu lupa denganku?" Sungguh, aku ingin mencakar wajahnya!
Aruna menggeleng pelan kemudian mengembangkan senyum kaku. "Bagai ... bagaimana kabarmu, Pad-ma?"
Kedua tanganku menggenggam tangan Aruna. "Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja tanpa ada yang cacat, dan akulah yang mendesain sepatu suamimu."
"Kalian saling mengenal?" tanya Bu Siska.
"Mereka adalah teman semasa SMA," seloroh Bayu.
Teman? Tidak, lebih tepatnya mantan teman yang sudah menjadi musuh bebuyutan!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Woman [Terbit Indie]
Literatura FemininaBacaan untuk 17+ memiliki content untuk orang yang telah berpikir dewasa! ******* Dua kata yang mencerminkan seorang Padma Daneswari; cantik dan seksi. Seorang wanita yang berkarier sebagai shoes stylist ini memiliki hobi gila; penggoda suami orang...