Five; Sign Of Time

4.1K 298 9
                                    

Just stop your crying,  it’s a sign of the times. Welcome to the final show. Hope you’re wearing your best chlotes.
~Harry Styles~

*****

Tipe setia.

Itu yang aku garis bawahi setelah melakukan perbincangan singkat dengan orang yang bernama Bayu Aji. Pria dengan wajah Timur Tengah itu begitu berprinsip dan tidak mudah goyah. Dapat dilihat dari mana? Dari sorot matanya yang sama sekali tidak terlena denganku, tidak ada sorot penuh berahi yang terpancar dari mata legam itu. Berbeda dengan pria-pria yang selama ini aku ajak tidur di ranjang. Dia seolah-olah memberi penekanan dan batas etika saat berbicara denganku, meskipun terkadang mengeluarkan gurauan. Dan aku tahu di mana celah yang harus dimasuki, saat dia mengeluarkan candaan. Di saat itulah aku akan menimpali sesuatu yang sedikit ekstrem.

Masih perlu dua hari lagi bagiku untuk bertemu dengannya. Namun, aku sudah tidak sabar, aku menginginkan pertemuan lain selain berbicara tentang desain sepatu. Aku mencoba mencari informasi tentang kegiatannya sehari-hari melalui orang yang selalu mengikutinya. Yap, aku melakukan pendekatan dengan asisten pribadinya dan beralasan kalau aku ingin mengenal Bayu lebih dekat demi sepatu yang sesuai dengan selera bosnya. Asisten pribadinya percaya dengan kata-kata manipulasi yang kubuat. Dia memberi sedikit informasi tentang kegiatan Bayu Aji selain bekerja. Dari deretan informasi itu, aku bisa mengatur jadwal bertemu dengannya lebih cepat.

Sudah kubilang sebelumnya kalau dia adalah pria pesolek, terbukti dari giginya yang memakai veneer, dan yang aku ketahui dari asisten pribadinya; kalau dia suka sekali dengan fitness. Hal itu semakin memperkuat bahwa dia adalah pria pesolek. Kemampuanku dalam menilai pria dari pertemuan pertama tidak bisa diremehkan, karena kebiasaan mencari perhatian seorang pria membuatku belajar aspek-aspek psikologi mereka. Bahasa yang kugunakan terlalu keren untuk orang caper sepertiku.

Hal-hal yang kuketahui membawaku singgah di tempat ini. Aku tidak pernah singgah di sini, bisa dikatakan aku lebih suka ke diskotik daripada membenahi tubuh yang terkontaminasi alkohol. Aku tidak pernah bangun pagi-pagi hanya untuk pergi ke tempat ini. Biasanya pukul delapan aku baru membuka mata dengan mulut bau alkohol, mata sembab, rambut berantakan dan terkadang dengan seorang pria di dalam kamar hotel—kalau pria itu masih menginginkan ronde terakhir dariku.

Di saat aku menginjakkan kaki di sini untuk pertama kalinya, aku terlihat sangat bodoh. Untuk sejenak, aku hanya berdiri di depan meja resepsionis dan memandangi orang-orang yang keluar masuk dari ruangan kaca itu. Otakku seperti enggan melakukan pergerakan, selain rasa gengsi—di mana wanita cantik dan sempurna seperti diriku tidak mau terlihat bodoh di hadapan siapa pun, aku juga merasa terasing di tempat serba baru ini. Cukup lama aku berdiri di sana sampai petugas resepsionis menegur dan aku mulai menyampaikan kebingungan ini. Ternyata, hal pertama yang dilakukan adalah mendaftar menjadi member atau kalau tidak mau jadi member, bisa membayar biaya sewa alat-alat gym di sini. Karena intensitas berkunjungku tidak terlalu sering, dan aku paling malas berolahraga, maka aku memutuskan untuk tidak mendaftar menjadi member. Aku hanya membayar biaya sewa alat dan fasilitas yang diberikan.

Setelah melakukan pembayaran dan tetek bengeknya, aku masuk ke ruang ganti, kemudian menyimpan barang-barang ke dalam loker. Sebelum masuk ke ruang fitness, aku berhenti sejenak di depan cermin yang menempel di tembok dekat pintu masuk. Penampilanku sangat sempurna, atasan pink dan celana ketat abu-abu yang semakin jelas mencetak tubuh rampingku, ditambah rambut cepol yang menambah segar rona di wajah. Inilah salah satu alasanku jarang berolahraga, maksudku tidak pernah; tidak perlu membentuk apa pun dari tubuh yang molek ini.

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang