Pertemuan antara idola dan fans nya telah selesai beberapa menit yang lalu, senyuman tak kunjung luntur dari ketiga bibir gadis itu. Olivia dengan perasaan bahagia membaginya lewat air muka, gadis itu menghampiri Carolina yang datang bersamanya tadi dengan terburu-buru. Begitu tepat di depan temannya itu, Oliv dengan bodohnya bertingkah layaknya anak kecil melompat-lompat sembari mencengkeram tangan Carolina.
“hey-hey biasa saja jangan berlebihan, aku tahu kau bahagia dan aku tidak...aku tidak bertemu dengan mereka” Carolina meranca dengan suara hampir menangis, menyadari itu Oliv menghentikan kelakuannya.
“hey tak perlu menangis okay? Lihat aku membawakan mu apa?” bujuk Oliv sambil memberikan softcase yang sudah bertanda tangan Niall. Air mukanya berubah seketika, mulutnya membentuk O dengan besar serta matanya yang hampir keluar. Err sekarang siapa yang berlebihan huh?, batin Olivia.
Dilain tempat gadis berambut hitam itu mencari teman berambut hitam lainnya yang menghilang begitu saja, padahal hanya ditinggal untuk membeli minuman. Sumpah bikin kerjaan aja, batin Diana menggerutu. Diraih ponselnya menghubungi Tarra namun gadis itu tidak kunjung mengangkatnya. Anjir Tarra kalo ketemu gue kawinin sama mimi peri, tak henti-hentinya Diana menggerutu.
Langkahnya menyusuri setiap selum beluk tempat di sekitarnya, bahkan kakinya sudah mendatang toilet umum sekitarnya, namun nihil. Kepalanya menunduk menatap ponsel, melihat dimana keberadaan Tarra lewat ponselnya karena ponsel mereka saling terhubung dengan GPS. Sialnya, mungkin saja Tarra mematikan ponselnya. Diana mulai gusar memikirkan berbagai kemungkinan terburuk Tarra yang hilang disalah satu kota terbesar didunia. Jarinya hampir saja menghubungi Pratama-ayah Tarra yang ada di Indonesia. Namun ia tidak mau gegabah, hatinya ingin meledak sekarang. Jika Tarra hilang lalu bagaimana dengan dirinya, ia sendirian di negeri orang.
“bangsat, Tarra lo dimana sialan” teriakannya menggelegar ke semua penjuru tempat di sekitarnya membuat pandangan semua orang tertuju padanya, bahkan ada beberapa tatapan mereka mengatakan -apakah dia gila?. Tatapan sengit tak luput dari mata coklatnya. “apa lo liat-liat hah?” katanya sarkastis pada setiap orang yang menatapnya aneh. Tak bisa menahan kesabaran hati ia menghempaskan kakinya sampai sepatu boots nya melayang pergi, mata nya hampir keluar saat mengetahui sepatunya mendarat di kepala seorang pria dewasa.
Lantas ia pergi, tak mau mengambil risiko besar hanya sebuah sepatu yang berbentur dengan kepala manusia, ia berlari dengan sisa sebelah kiri sepatu bootsnya. Ia berhenti mengira-ngira jika pria itu tidak dapat menyusulnya mengingat tubuh berisi pria itu, ia sempat menertawakan kebodohannya sendiri setelahnya ia berhenti mengetahui yang menyebabkan dirinya berkeringat sekarang. Ia membalikkan tubuhnya, berniat kembali dimana ia meninggalkan Tarra. Namun tanpa disangka netranya menangkap Tarra di sebuah kedai kecil di pinggir jalan, dengan beberapa pria sebayanya. Spesifiknya adalah dua pria kulit putih dan satu pria berkulit hitam. Mereka sedang tertawa bersama, Diana naik pitam. Bagaimana Tarra bisa tertawa selepas itu sedangkan Diana sedang mencarinya?. Sialan sekali, batin Diana.
Dengan langkah besar Diana menggerakkan kakinya, matanya tak pernah luput dari Tarra seakan jika ia mengedip Tarra akan raib begitu saja. Pandangan sekitar menatap Diana aneh, bagaimana tidak? Rambutnya berantakan dan ia tidak memakai alas kaki sebelah walaupun kaus kaki masih membalut kaki mungilnya. Tanpa aba-aba Diana menarik bahu Tarra agak kasar, Tarra tersontak begitu juga dengan ketiga pria itu. Dengan sigap pria berkulit dengan rambut gelap itu menghalau Diana untuk tindakan selanjutnya. Diana melotot.
“pergilah, brunutte aku tak punya urusan denganmu” gilak Di liar juga anjir, Tarra bergumam kecil di tempat duduknya. “bangsat, Tar lo dari mana aja sialan, gue nyariin lo, jir” Diana benar-benar naik pitam. Bahkan dua pelayan hampir menghampiri mereka karena Diana membicarakan bahasa lain yang tidak dimengerti dengan berteriak, Tarra mengangkat tangannya pada kedua pelayan wanita itu. Ketiga pria itu, memikirkan apa yang dibicarakan gadis cantik di depannya.
“Okay duduklah, Di” Dia menurut sembari mengatur nafasnya. “jadi perkenalkan dulu mereka ketiga pria tampan di depanku” Tarra memberi jeda dikalimatnya, seraya menatap ketiga pria asing itu. Diana mengikuti arah pandang Tarra serta memberikan tatapan sengit pada pria brunutte itu. “ini sahabat ku Diana dan Di, yang berambut pirang Bryan, si brunutte Michael dan hitam manis itu Albin. Ugh yang brunutte itu bagian gue jangan diambil okay” mereka menyapa, Diana memutar matanya seakan tidak perduli. Ia kembali menatap Tarra meminta penjelasan. “okay okay biasa dong njir mata lo minta dicolok ya?” Tarra terkekeh.
“hey kalian ini bicara apa? Aku tidak mengerti” Michael bersuara dan mendapat persetujuan dari kedua temannya.
“Bahasa Indonesia, dan diamlah sebentar aku ingin menjelaskan padanya karena ia begitu cerewet nantinya, mengerti?” ketiga pria itu mengangguk mengiyakan. “lo mau pesen minum dulu gak? Biar gue pesenin soalnya-“
“enggak makasih okay, lo enak banget sumpah omongan lo tanpa hambatan, lo gak tau apa gue nyariin lo tau sampe sepatu gue ilang sebelah dan ini gara-gara lo. Gue gak mau tau-“ Tarra menatap Diana tanpa minat karena tahu ia akan membicarakan apa selanjutnya. Ketiga pria itu saling berpandangan dengan alis yang bertaut.
“aku rasa Tarra sedang memarahinya, benar?” Bryan mengungkapkan pendapat bodohnya, orang buta pun tahu jika intonasi seperti itu menandakan apa?, batin Michael mencibir.
“apa? Sepatu lo ilang terus kenapa gue yang harus ganti, lo kira gue gak tau selera sepatu bisa ngabisin kartu kredit gue, lagian kenapa bisa ilang?”
Setelahnya mereka bertukar cerita. Tarra pergi bukan tanpa alasan, perutnya meminta makanan maka dari itu ia meninggalkan tempatnya, ia sudah mengantre makanannya namun pria itu, Michael menabraknya, mungkin saja tidak sengaja tapi makanan Tarra terjatuh. Hampir saja Tarra menangis jika saja Albin tidak menawarkan mengganti makanannya, dan begitulah mereka mencari kedai kecil untuk menggantikan makanan Tarra. Diana juga menceritakan bagaimana ia kehilangan sepatu boots nya. Mereka berpisah di persimpangan jalan, ketiga pria itu ke kiri dan kedua gadis itu ke kanan, kedua gadis itu menuju flat kecil milik keluarga Evan. Tarra tak henti-hentinya memekik girang membuat Diana menutup sebelah kanan telinganya, ia mendapatkan nomor ponsel Michael walau dengan hambatan jika saja kedua temannya tidak membantu nya.
Semoga suka.
Vote? Yap
See ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams, One Direction (End)
FanfictionKisah dua remaja Indonesia bertemu idola serta sesama teman fangirl nya. Terjadi sangat singkat tapi berulangkali dan menjumpai cinta yang tak terduga. Itu yang terjadi pada Diana Evan. #89 - dreams 110718