Chapter 9 : The Protective

25 9 1
                                    

Seharusnya ia bisa mengendalikan emosinya, sial. 'Tai banget hp gue' Diana meranca di trotoar perjalan pulang. Beruntung ia hapal alamat flatnya, hanya itu senjatanya untuk pulang. 'Ini taksi gak ada yang lewat apa ya, ya allah apes banget sih'. Ia bisa saja menberhentikan mobil random yang lewat untuk memberikannya tumpangan, namun pikirannya berkeliaran memikirkan ia tidak sedang di indonesia, ia juga tidak ingin mudah percaya dengan orang lain apalagi dengan menumpang. 'Kalo di bawa ke tempat gelap gimana' kepalanya menggeleng guna mengusir pikiran buruknya.

*flashback

Kelopak matanya perlahan terbuka, sayup-sayup Diana mendengar segerombol suara berat. Kerena penasaran ia segara membuka matanya dan bangkit. Betapa terkejutnya ia melihat mereka lagi, dengan Oliv.

"Lah kalian disini?" Mereka terintrupsi lalu mengernyit menatap Diana dengan bingung, di lihatnya Oliv menatap The Boys seperti 'dia bilang apa barusan?' Diana sadar sesuatu, bahasa yang ia pakai salah. Tanpa sadar ia menepuk dahinya lalu terkekeh. Harry menatapnya dengan sebelah alis yang menaik. "Maksudku kalian disini?" ia menelisik penjuru ruangan, yang sekarang ia sadari adalah ini rumah siapa. "-tunggu ini dimana? Kenapa aku bisa disini?" ia mengingat janjinya dengan Bry, "masya allah Bry!" ia melihat arloginya lalu memukul lututnya, "duh pasti dia marah".

Tatapan Niall dan Louis membingungkan susah di jelaskan, mereka benar-benar tidak tahu apa yang Diana bicarakan. Sang hijau tak begitu memedulikan di pikirannya hanya memaklumi seseorang yang baru sadar dari pingsannya pasti akan sedikit geser. Sesaat Oliv cengengesan menatap ekspresi konyol Niall. Liam berusaha berpikir kemungkinan apapun yang barusan Diana katakan, tidak, lebih seperti meranca maksudnya.

"Kau baik Di?" Oliv mengitrupsi Diana saat ingin mengambil ponselnya di kantung.

"Ya aku baik, terima kasih" lalu sibuk dengan ponselnya, seperti mengetik sesuatu. Namun tangan besar merampas ponselnya. "Hey, kembalikan. Aku perlu berkirim pesan dengan Bry" Harry hanya menaikkan sebelah alisnya tidak peduli sembari mengantungi ponsel Diana di saku celana belakangnnya. Melihat itu Diana hanya cemberut.

"Kau sudah merepotkan aku dan dia- eh kau siapa? Ah Oliv. Jadi jelaskan kenapa kau tiduran di trotoar, kau tahu itu mengganggu pe-"

"Hey hey kau tidak tahu yang sebenarnya, Harry. Jangan sok tahu dan terima kasih atas bantuannya, Tuan" ia terbakar emosi tapi masih bicara dengan nada konyol, bayangkan saja di ejek idola seperti itu. Hebat jika tidak tersinggung. Ia beranjak dari sofa. Oh Di, kau menyia-nyiakan kesempatan kedua mu. Tak terduga ia berbalik, Harry menyeringai. "Maaf sekali, seandainya aku tidak mengidolakanmu" kemudian ia berlalu. Harry datar dengan ekspresinya.

*flashback end

***

"Jablay si Diana udah malem gak pulang-pulang" Tarra menggerutu sambil mengetik sesuatu di ponselnya, lalu tangan kirinya meraih gelas berisi jus jambu kemudian menyesapnya. Langkanya menuju sofa, menyilangkan kakinya bersantai. Matanya kembali melihat jam di dinding menunjukkan 11 malam. "Ngartis gak diangkat-angkat" ia kembali menggerutu setelah ia mencoba menelepon ke nomor Diana.

Dua puluh menit kemudian suara bel berdering, membuat Tarra bangkit dari sofanya. Matanya mengintip dari lubang kecil yang ada di pintu. 'Nah' gumam Tarra, langsung membuka pintu. Ia dapatkan Diana disana dengan wajah kusam kusut kayak keset. Diana terbelalak langsung mendorong Tarra masuk kedalam.

"Eh eh kenapa" dengan suara satu oktafnya Tarra sambil menahan Diana.

"Lo gila ya?" Diana hampir memekik.

"Situ kali yang gila, abis jalan kemana malem-malem hah?" ada sedikit candaan disana.

"Males ceritanya" matanya menelisik Tarra dari atas hingga bawah lalu menggeleng, Tarra mengernyit.

"Apa?"

"Menurutmu bagaimana jika seorang pria tiba-tiba datang dan memperkosa mu?" ucap Diana sarkas. Tarra memutar bola matanya.

"Oh biar saja. kau tahu aku, Di. Aku suka bebas" kata Tarra begitu santai sembari berlalu ke sofa.

Setelah Diana membersihkan diri Tarra menunggunya di sofa, sorot mata Tarra meminta penjelasan padanya. Bagaimana seorang sahabat bisa sangat protektif sekali, tentu saja mereka sudah bersahabat begitu lama bahkan sekarang terasa seperti saudara. Maka dari itu Tarra yang hanya memakai tangtop dan celana dalam mendapat teguran darinya. Oh dia memang tak punya malu, batin Diana. Kemudian Diana menceritakan semuanya jika anemia nya kumat lalu ia pingsan di trotoar, juga tentang pertemuannya dengan The Boys. Tarra menyayangkan bagian itu, seandainya ia ikut dengan Diana tadi, ia pasti bertemu dengan akang Louis nya.

"Lagian tadi mau kemana sih? Udah tau punya anemia, ngelayap aja" cibir Tarra tepat di depan orang yang di cibir. Ya Allah urungkan niat hamba mu ini untuk mencincangnya, batin Diana menggerutu.

"Aku sudah menceritakan semuanya" tatapan Tarra tidak yakin, "jadi aku mau tidur, sampai jumpa di dalam mimpi" kemudian Diana berlalu ke kamarnya. Meninggalkan Tarra yang mengerutu.

"Ah, bagaimana jika menghubungi Mical" pipi Tarra merona seketika.

***

"Hey guys,!" seorang penata rias The Boys memekik, "ini ponsel siapa? dan kenapa sangat berisik?!" Semua kepala menengok ke sumber suara termasuk The Boys, Jenn sangat ambigu dengan teriakannya. The Boys yang tahu ponsel itu bukan urusannya, bersama menatap Harry meminta dia mengurusnya. Harry melengos begitu saja tanpa mengatakan apapun pada mereka menghampiri Jenn meminta ponsel itu.

"Ya ampun, sebenarnya ada berapa stock gadis mu, huh?" begitu menerima ponsel itu, yang terdapat sebelas panggilan tak terjawab dari 'Tarra'. Harry menyeringai sesaat. Pasti ia menggunakan ponsel teman nya, pikir Harry. Tak lama panggilan itu kembali muncul lantas langsung mengangkatnya.

"Hey Harry!. Ya Tarra aku tidak bohong, diamlah!" Harry terkekeh mendengar ocehan yang terdengar menggemaskan di telinganya. "Kembalikan ponselku!, Atau aku harus mengambilnya sendiri? Kalau begitu Dimana kau sekarang?" Hening beberapa saat, membuat Diana dan Tarra mengernyit lalu menatap layar ponsel nya yang masih tersambung panggilan. "Harry aku bersumpah jika kau tidak mengembalikan ponselku, aku akan-"

"Apa?" Bulu kuduk Diana meremang, suara pria itu sungguh- ah sungguh seksi.

"Mengutukmu- tidak akan pernah menikah kecuali dengan Diana" Diana menoleh ke sumber suara yang didengar nya, Tarra. Apa-apaan dia? Batin Diana menggeram. Tanpa peringatan hantaman matang jatuh tepat di batok kepala Tarra membuat yang punya meringis. Harry mendengar semua itu membuatnya tersenyum. Semua mata di ruangan itu memandang Harry heran, termasuk The Boys.

"Hey Lou, aku rasa Harry gila" bisik Niall melirik Louis di sebelahnya. Louis berdecak seraya menggeleng kepalanya ringan.

"Aku setuju, kasihan ya. Mana masih muda," lirih nya begitu menghayati.


.
.
.
.
.
.
.
Yeay akhirnya update, semoga suka, maaf kalo typo nya banyak.



Enjoy...



Vote! Vote!

.
.
.

Dreams, One Direction (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang